49. | Cerpen | : Awan 3

189 13 0
                                    

Awan  itu ... kadang putih, kadang hitam, kadang pula abu-abu.

awan itu tak tentu, kadang Ungu, kadang pula Merah Jambu.

Tergantung bagaimana keadaan sang langit.

Awan itu simple, selalu ringan hingga melayang-layang di keringanan udara. Aku suka awan, yang selalu ringan tak pernah Mendendam.

Aku ingin jadi awan yang selalu ringan, tak perduli kemana pun jauh perginya angin membawanya.

Aku ingin ....

"Ka, dipanggil Papa tuh."

Aku menoleh pelan, memandang kakakku yang sudah mengenakan setelan jas lengkapnya. Aku sedikit menghembuskan napas kesal karena angan-angan yang barusan kubangun, kini hancur berantakan.

"Kenapa Kak, tumben Papa manggil aku?" tanyaku Seraya beranjak dari posisi rebahanku. Tanganku yang tadinya terangkat ke udara seolah membelai awan, kini berpindah guna merapikan rambut dan pakaianku yang acak-acakan.

Karena ... satu, papa tipikal orang yang cinta kerapian, selain ketenangan dan kedamaian.

"Kak," panggilku serayanmengangkat dagu.

"Ya?" Kakakku lekas mendekat, lalu menepuk pundakku hangat.

"Tenang, kita masih akan tetap jadi keluarga," ucapnya sembari mengulas senyum lembut yang menenangkan. aku menggangguk menanggapinya.

"Kak, gimana sama Mbak Febi?"

Raut wajah riangnya seketika berubah muram. Aku tergelak karenanya.

"Jangan gitu dong, harga diriku sebagai boss sirna gara-gara sekretaris sendiri," ucapnya sembari merunduk. Kakakku orangnya memang over, atau bisaku katakan ia lebay.

Di usia mudanya, ia sudah memimpin sebuah perusahaan besar, banyak gadis yang tertarik padanya. Tapi dia terlalu kekanak-kanakan dalam masalah relationship. hingga, mendapat seorang sekretaris cantik yang absurdnya 11-12 dengan kakakku.

Aku menggeleng-gelengkan kepala, mengingat momen-momen saat bersama Kakakku dan sekretarisnya.

"Ka, kau orang yang kuat," sambungnya lagi. Aku kembali mengangguk, menanggapi kata-kata penenangnya.

"Jadi, hari ini datang juga?" tanyaku sambil mengekori kakakku yang berjalan didepan, menuju ruang keluarga yang nampaknya ramai.

Kakakku menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuatku terpaksa ikut menghentikan langkah, ia lalu berbalik pelan.

"Jujur, aku kira kita—"

Aku menggeleng cepat, memotong ucapannya.

"Tak akan ada yang berubah, oke?"

Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, menelan kembali susunan kalimat siap saji yang akan ia hidangkan padaku.

"lihat, aku selalu heran kenapa kau selalu terlihat dewasa dari pada aku?"

Aku terkekeh, lalu ia kembali berjalan dan aku kembali mengekor.

"Mungkin Mbak Febi bisa bantu soal kedewasaan," candaku yang ditanggapi dengan tawa hambar khas miliknya.

"lucu sekali nak, coba katakan itu di depan Febi. Kalau kau berani."

***

"Siap?" tanyanya saat kami berada di depan sebuah pintu bercat putih. Satu-satunya akses masuk ke ruang keluarga, ruang yang lebih tepat disebut ruang sidang.

Perlu diketahui, seluruh penghuni rumah ini (selain satpam, supir dan pembantu) tak pernah sekalipun berkumpul di ruangan yang disebut sebagai ruang keluarga.

Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang