24. | Cerpen | : Awan

701 25 0
                                    

Langit ....
Hari ini warnanya biru nan jernih, bagai lautan lepas
Tapi awan, seputih susu hangat yang manis

Langit ....
Begitu tinggi tuk digapai, begitu pula lautan, begitu dalam tuk dicapai.
Tapi awan, tak terlalu jauh tuk diangan.

***

"Nan, gimana PR nya?" Age bertanya padaku yang tengah duduk di bangku, mencoret sebuah kertas HVS putih agak kekuningan asal.

Memadukan garis, lekungan dan lingkaran dengan pensil lusuh warna biru berujung hitam.

"Nan, udah ngerjain PR belum?" ulangnya seraya duduk di sebelahku. Sebal karena tak mendapat jawaban, Agr menarik paksa kertas yang ada di meja samping buku paketku.

Membuatku mencoret panjang pada lukisan wajah seorang remaja putri yang hampir rampung kubuat.

"Ck, balikin!" Age menghela nafas lelah setelah mengenali skestsa wajah yang ada dikertas.

"Makanya, kalau ditanya tuh jawab!" Ia mengembalikan kertasku tanpa minat. Sedikit mencibir dan mengumpat lirih walau masih terdengar di ruang dengarku.

"Masih aja mikirin dia," cibir Age sembari mendorong pundakku pelan, membuatku memincingkan mata padanya yang tengah tersenyum jahil.

"Inget Nan," ujarnya serius.

"Di mana kamu berdiri, dan di mana dia berdiri."

Aku meneguk saliva ku, kecut. Sekecut kenyataan yang Age ingatkan di pagi yang membosankan ini.

Dan sialnya, rasa kecut itu terus membekas di lidah keringku.

"Aku tahu," jawabku ketus. Tak perduli pada tatapan tak percaya Age, tak perduli pada mulut sampah teman-teman nya.

Dan, mencoba tak perduli dengan keraguan yang selalu menghinggapi hati kecilku. Keraguan yang bersarang, bagai pelatuk yang melubangi pohon untuk tinggal.

Juga, mencoba tak perduli pada rasa kecut di hidupku yang semakin menjalar, memenuhi rongga mulutku, menyumpalnya dan tak mengizinkan rasa yang lain terkecap oleh lidahku.

"Nandi!" seru Age membuyarkan lamunanku.

"Kita udah pernah bahas ini. Jauhin dia, atau semua anak bakal memandang kamu lebih sinis dari ini,"

Aku melirik anak lelaki seumuranku yang tengah duduk di sampingku.

"Siapa yang bakal dipandang sinis?" tanyaku memancing.

"Aku, atau Age Sejoan?"

Age mengeraskan rahangnya, mengetahui aku akan tetap membantah sarannya.

"Nan, aku cuma nggak mau kamu semakin diinjek sama—"

Aku mengangkat tangan kananku, menginstruksi Age agar diam sesaat.

Lalu, kutatap lekat manik coklat lelaki berkebangsaan Singapore itu.

"Selama nggak ada yang ngalahin nilai aku, kita anggap pembicaraan ini nggak pernah ada," putus ku.

Aku segera beranjak dan meninggalkan Age yang tengah mematung.

Seperti biasa, ia memikirkan ribuan cara agar aku berhenti mendekatinya, memikirkan ribuan cara menjauhkanku dari jarak pandangnya.

***

"Nan, boleh minta tolong?" tanya seorang gadis—berparas ayu, tubuh mungil dan wajah imut- padaku.

Gadis yang di-incar hampir seluruh siswa di SMA ini.

Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang