51. | Essay | : Aku dan Matematika

353 17 7
                                    

Dengan semangat 45 aku berjalan riang memasuki kelas. Hari ini akan ada ulangan Matematika, pelajaran yang enggan aku lirik sama sekali. Bagaikan teka-teki keberadaannya sanggup membuat kepalaku pening tujuh keliling.

Seorang guru berwajah tampan dengan hidung mancung serta kulit putih bersih, berjalan angkuh di depan kelas. Nyaris seluruh murid di dalam kelasku menahan napas. Bukan karena terkesima, sama sekali bukan. Bahkan teman sebangku ku yang pemburu cogan alias cowok ganteng saja sama sekali tidak tergugah oleh paras tampan guru itu. Karena bagaimanapun juga profesinya sebagai guru Matematika memang meruntuhkan segala hal positif di otak kami. Ya kami, aku dan teman-teman sekelasku.

Pak Agus.

Guru killer yang 'tak segan-segan menarik telinga siapa saja yang dianggap salah. Aku terduduk cemas dengan mata bundarku yang melirik gelisah.

Soal dibagikan. Suasana yang beberapa saat lalu hening kini semakin senyap tanpa suara.

Aku mulai membaca beberapa angka yang sudah aku kenal sejak sekolah dasar tapi tidak pernah aku pahami sama sekali.

Hanya lima buah soal.

Tapi sanggup membuatku meringis—pening.

Menghela napas, dengan memantapkan hati aku mulai menggoreskan pensilku pada lembar jawaban. Sesekali aku memijat pelipis, leherku benar-benar gatal ingin menoleh, namun Pak Agus terus berkeliling bagaikan tukang asongan. Hilir mudik memandori anak muridnya.

Tiga puluh menit berlalu.

Teman-teman sekelasku mulai mengumpulkan jawaban. Aku panik, 'takut karena baru menyelesaikan tiga soal, itu pun tidak tahu benar atau tidaknya.

Aku kembali berkutat dengan dua soal terakhirku. Sebisa mungkin aku mencoba menenangkan diri.

Lima menit kemudian ....

"Melda, kumpulkan sekarang."

Aku nyaris melompat saking kagetnya. Sisa satu soal, aku hanya bisa menyelesaikan empat buah soal. Menatap sekeliling, ternyata seluruh mata tengah menatap ke arahku. Dan rupanya aku menjadi manusia terakhir yang belum mengumpulkan lembar jawaban. Akhirnya dengan pasrah ku seret kaki jenjangku menuju meja guru, ikut mengumpulkan lembar jawaban seperti teman-teman sekelasku yang lain.

Singkat cerita Pak Agus sang guru killer sudah hengkang dari kelasku. Ya, berterima kasihlah pada bel istirahat yang berbunyi—mengusirnya.

Beberapa murid sudah keluar kelas untuk istirahat di kantin atau sekedar nongkrong di koridor kelas, sisanya masih betah berada di dalam kelas, sama sepertiku.

"Mel, sumpah tadi gue mati-matian nahan tawa," ucap Putra kemudian tertawa.

Aku mengernyit. "Pas kapan?"

"Tadi pas lo disuruh ngumpulin jawaban sama Pak Agus." Putra masih 'tak berhenti tertawa. "Eks—Hahaha! Ekspre—hahahaha—"

"Apaan sih, garing banget tahu gak?" ucapku sembari menoyor kepalanya.

Dia mengaduh kesakitan. "Ekspresi lo kayak orang dungu," ujar cowok itu kemudian kembali tertawa. Aku memutar bola mata, selera humornya memang buruk sekali.

"Kira-kira bakal ada remedial gak ya?"

Putra mulai berhenti tertawa. Wajahnya memerah dengan sudut mata yang sedikit berair. "Pasti ada," ucap cowok itu mantap. "Elo salah satu kandidatnya," lanjut cowok itu. Benar-benar menyebalkan.

"Gue males ngobrol sama lo lagi." Aku ngambek. Dengan wajah diketuk aku meninggalkannya, beralih menghampiri Hendar. Fyi, di sekolah aku memang lebih sering bergaul bersama anak cowok. Anak cewek di kelasku lenjeh semua, dikit-dikit marah, dikit-dikit nangis, gak asyik!

Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang