20. | Cerpen | : Memory

982 28 3
                                    

“Selamat ya, Na,” ucap sahabatku saat  kini tiba gilirannya bersalaman denganku. “Akhirnya, perjuanganmu selama ini tidak sia-sia,” lanjutnya agak pelan karena Mas Adam berdiri di sisi kananku.

“Apaan sih!” sahutku menahan rasa malu. Aku yakin sekarang wajah ku sudah bersemu merah seperti kepiting rebus.

Ya, hari ini adalah hari yang sangat istimewa bagiku karena tepat hari ini aku resmi menjadi istri seorang laki-laki yang selama bertahun-tahun selalu ku kejar.

Sekelebat bayangan bagaimana aku harus berjuang mati-matian untuk mengapainya melintas di kepalaku silih berganti.

***

Agustus.

Sial.

Buru-buru aku menuju ke ruang Osis yang terletak di lantai satu melewati koridor-koridor sekolah dengan sekali-kali melirik ke arah lapangan upacara. Aku berhenti dan sekarang rasa panik menyelimuti diriku. Keringat dingin mulai bercucuran dan menetes. Wajahku pucat pasi. Di depan sana semua teman-teman ku sudah sibuk menata peralatan untuk upacara bendera.

Kulirik jam tangan yang melingkar indah di tanganku. Pukul 06.35 WIB. Aku sudah terlambat selama lima menit dari waktu yang sudah ditentukan. Aku yakin setelah upacara bendera selesai, aku pasti akan mendapatkan hukuman dari sang ketua.

Aku, Larasati Ardiana, sang tokoh utama. Salah satu anggota Osis yang memiliki jabatan sebagai sekertaris 1 dan tepat hari ini adalah jadwalku bersama tiga anggota Osis yang lain untuk mempersiapkan peralatan upacara bendera.

Tanpa sadar kaki ku mulai melangkah menuju pinggir lapangan. Teman-teman yang sadar akan keberadaanku menoleh. Tapi ada sesuatu yang aneh dari mereka. Mereka seperti memberi isyarat kepada ku untuk menoleh ke belakang melalui dagu.

Aku membalikkan badan sesuai isyarat mereka, hingga aku menubruk dada bidang seseorang. “Aduuh!” rintih ku kesakitan.

“Larasati Ardiana!” Seperti mengenal suara itu. Aku mendongak untuk memastikan, apakah orang yang aku tabrak sesuai dengan apa yang kupikirkan sekarang?

Dan ya sesuai prediksi, sang ketua Osis ada di depanku.

“Telat lagi?” Dia menatapku tanpa ekspresi.

“Anu ... itu. Ma ... maaf,” ucapku gugup. Bagaimana tidak? Kepergok terlambat menjalani tugas oleh sang ketua Osis yang terkenal memiliki mulut pedas ketika bicara.

“Setelah upacara selesai, kamu yang membersihkan semua peralatan,” ujarnya tak terbantahkan.

“Ta—” Belum selesai aku berbicara Adam sudah pergi dari hadapanku.

“Untung sayang,” ujarku pelan.

Adam adalah cinta pertamaku. Rasa ini berawal saat aku mengikuti acara seleksi masuk di organisasi ini.

Saat itu aku duduk sendiri di kursi yang sudah disiapkan panitia untuk calon anggota Osis yang terpilih mengikuti seleksi wawancara.

Empat jam berlalu tidak banyak yang berubah. Aku masih duduk sendiri dengan tiga orang lainnya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Padahal calon anggota yang terpilih hanya dua puluh orang dan itu dibagi menjadi dua hari seleksi. Hari ini dan besok.

Karena merasa bosan, aku memutuskan untuk memejamkan mata sebentar. Lima belas menit berlalu, saat aku sudah mulai menyelami dunia mimpi. Tiba-tiba aku merasa seperti ada yang memanggil dan menggoyangkan badanku. Aku mengerjapkannya mata dan melirik siapa yang berani-beraninya mengganggu waktu tidur siangku. Lebih tepatnya tidur siang yang kesorean karena sekarang sudah jam lima lebih delapan menit.

Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang