56. | Cerpen | : Meraih Impian

825 13 0
                                    

Kini, aku bekerja sebagai dosen salah satu kampus yang cukup terkenal di Yogyakarta. Aku mengajar jurusan pendidikan sosiolagi, jurusan yang dulu sangat ditentang oleh orang tua ku, terlebih, papa. Dan namaku sendiri ialah Santi Ramadani. Biasa dipanggil dengan Santi. Di sini aku hanya memiliki satu sahabat, sebenarnya aku memiliki empat sahabat yang sejak kecil selalu bersama, tapi dibangku perkuliahan kita berbeda. Dikarenakan tiga sahabatku yang lain beda fakultas denganku,  jadi kita berpisah. Dan sahabat yang sama fakultas denganku bernama Septiana, dia biasa dipanggil dengan sebutan Septi.

“San, kamu mau pesan apa?” tanya Septi padaku pada suatu sore di cafe terdekat di mana tempat kerjaku berada.

“Samain aja sama kamu.”

Septi menurut, gadis itu berjalan untuk membeli makanan sesuai pesanan kami. Sedangkan diriku duduk di salah satu bangku yang disediakan cafe. Sembari menunggu aku mengeluarkan ponsel dan membuka galeri ponselku yang akhir-akhir ini jarang sekali aku buka. Dikarenakan kesibukanku di dunia kerja alias banyak tugas.

Jariku berhenti menggeser foto saat aku melihat foto keluarga. Keluarga yang dulu ku benci, tapi sekarang sangatku rindukan. Tanpa sadar, air mataku menetes membasahi pipi.

Sejak kecil menjadi guru bidang studi yang berkaitan dengan Ips adalah impianku. Impian yang selalu ku usahakan untuk tercapai. Tapi sayangnya takdir berkata lain, aku terpaksa melepaskan mimpiku untuk tiga tahun lamanya karena orang tua ku menentangnya. Bahkan, mereka memasukkanku ke kelas Mipa agar aku pandai hitung-menghitung dan bekerja di salah satu cabang perbankkan.  Meski ditentang dan masuk Mipa bukan berarti aku kalah, aku tetap kekeh untuk melanjutkan impianku sejak kecil.

Di pagi hari yang cerah, aku bersama teman-teman sekelasku akan melaksanakan pembelajaran olahraga. Dan materi untuk pagi ini adalah bermain bola voli.  Jadwal olahraga ku bersamaan dengan kelas kakak tingkat, XI MIA 2.

Sebenarnya, pelajaran olahraga juga termasuk salah satu pelajaran yang paling aku benci selain pelajaran-pelajaran hitung-menghitung. Tapi sayangnya aku harus bertahan selama tiga tahun, yang bagiku itu sangat menyiksa.

Berjalan menuju ruang GOR dengan langkah kaki yang bergerak lunglai tanpa semangat sedikit pun.

Sesampainya di sana, Pak Handoko meminta kami membuat grup yang masing-masing kelompok berjumlah enam orang. Permainan dimulai dari kelompok 1 dan 2 itu berarti sekarang saatnya aku bermain bersama kelompokku.

Minggu demi minggu sudah aku lewati dan semakin membuatku 'tak betah untuk masuk di kelas ini. Bagaimana tidak? Aku yang tidak begitu menyukai materi tentang hitung-menghitung dengan terpaksa harus mempelajarinya. Dan ditambah lagi dengan sikap usil teman-temanku, mereka mengatakan ketidaksukaanku terhadap hitung-menghitung kepada Bu Rima ~ guru matematikaku yang memiliki kesempatan emas untuk menyiksaku.

Di mulai dari memintaku untuk maju mengerjakkan soal yang membuat kepala pusing tujuh keliling, PR yang menumpuk, tugas kelompok yang menyebalkan, dan masih banyak lagi. Dan teman-temanku hanya tersenyum geli saat melihat jawabanku yang salah dan ngawur. Apakah sebahagia itu mereka? Melihat temannya sengsara di depan sana? Dasar teman-teman laknat.

“Santi ... Santi kamu ini anak Mipa kok mggak bisa hitung-menghitung sih?” tanya Bu Rima pada suatu hari yang terlihat menggelengkan kepala ke kanan ke kiri.

“Yah kan, saya anak Ips yang nyasar jadi anak Mipa, bu,” jawabanku enteng setiap kali Bu Rima menanyakan prihal ini. Dan selanjutnya aku yang harus mendengarkan siraman rohani dari Bu Rima mulai dari aku yang harus menyukai matematika, belajar matematika dan lain-lainnya karena sebagian ceramahnya tidak aku dengarkan.

Sepuluh menit kemudian, suara kicauan Bu Rima sudah tak ku dengar lagi. Mungkin beliau lelah menasihati ku yang anak batu ini. Jangankan Bu Rima, keluarga ku saja sering mengalah saat aku sudah menjelaskan ketidaksukaan ku tentang hitung-menghitung.

Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang