Wanita berjilbab hitam itu tersenyum memandang ke arah Gunung Rinjani, gunung yang katanya ingin sekali ia kunjungi. Ia seperti tak bosan-bosannya melihat ke arah gunung itu, seperti sedang menemukan kebahagiaan yang hakiki saat melihatnya.Aku melihatnya, memandangnya lekat-lekat dengan kedua bola mataku. Wanita ini terlihat begitu cantik dan anggun, meski seluruh badannya hampir saja tertutupi.
"Hey, apakah kamu belum juga bosan berada disini?" tanyaku.
"Belum Annisa ... sebentar lagi ya," ucapnya dan mau tidak mau aku duduk kembali di dekatnya.
"Apakah kamu sangat ingin pergi ke gunung itu?" tanyaku tanpa menatapnya.
"Aku sangat ingin pergi ke sana, "jawabnya dengan lembut.
"Kapan kamu akan pulang ke negaramu?"
"Mm aku belum yakin tentang itu, om Haris bilang aku harus tinggal di sini lebih lama lagi. "
Namanya Fatin Sidqia Abraham. Dia kupanggil Fatin, ia sebenarnya pernah tinggal di Indonesia sebelum pindah ke Korea, negara yang masih saja aku impi-impikan hingga saat ini. Pertama kali bertemu Fatin, aku heran karena dia mengucapkan bahasa Indonesia dengan begitu fasehnya. Karena jika kalian melihatnya, kalian juga pasti akan berfikir bahwa Fatin adalah orang Korea asli, mulai dari kulitnya, postur mukanya, semua seperti orang Korea. Bedanya fatin memakai jilbab yang hampir menutupi anggota badannya, bukan seperti orang Korea yang kalian lihat di TV-TV. Namun, saat aku tahu dia pernah tinggal di Indonesia, aku menjadi paham dan tidak bingung lagi.
"Dimas!" panggilku sedikit berteriak pada laki-laki yang sedang mengayuh sepedanya. "Sini," perintahku.
Aku berniat memperkenalkan Dimas pada Fatin.
"Duduk sini, aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang," ucapku yang langsung di lihat oleh Fatin, mungkin dia merasa.
"Siapa?" tanya dimas.
"Perkenalkan dia Fatin keponakannya pak Haris, yang pernah aku ceritakan padamu sebelumnya, dia kesini untuk berlibur karena katanya di Korea sangat berbeda dengan di sini," ucapku panjang lebar.
"Kamu dari Korea?" tanya Dimas yang hanya di angguki oleh Fatin, tanpa memandang mata Dimas tentunya.
"Perkenalkan aku Dimas, sahabatnya Annisa, "Ucap dimas menyodorkan tangannya, dan fatin membalas hanya dengan menangkupkan tangan di dada.
Aku sedikit tertawa melihat tangan Dimas yang tak di jabat oleh Fatin.
"Hahaha, melihat mataku saja seperti sedang melihat kotoran, padahal kita sama-sama perempuan, apalagi kamu yang laki-laki Dimas," ucapku masih dengan sedikit tertawa.
Aku menepuk-nepuk kursi di sebelahku. Aku tidak mungkin menyuruh Dimas duduk berdekatan dengan Fatin,karena sudah jelas Fatin akan menolak.
"Mm, Fatin masih sekolah?" tanya Dimas.
"Dia sama dengan kita," jawabku mewakili Fatin.
"Oo kamu baru saja lulus?"
"Iya dia baru saja lulus." Lagi-lagi aku yang menjawab dan kali ini Dimas melihatku dan melotot padaku. Aku menahan tawa melihat ekspresi Dimas yang seperti itu padaku.
Fatin terlihat mengangkat pergelangan tangannya, dia sepertinya sedang melihat pukul berapa kali ini, dan benar saja, dia langsung membuka suara setelah melihat benda yang tertempel di pergelangan tangannya.
"Mm Annisa, kita pulang yuk, udah mau sore," ucapnya dengan suara lembut khas miliknya.
"Ok, Dimas kita duluan ya," ucapku pada Dimas yang ia langsung ikut berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ]
Novela Juvenil[ cerpen/puisi/essay/quotes ] 03 Agustus 2020. Event pertama Wattpad Mission Community.