34. | Cerpen | : Awan 2

311 15 0
                                    

Cekrek ... dan, cekrek ....

Begitulah bunyi yang dihasilkan oleh alat yang berada di tangan Gio.

Seorang pemuda tanggung dengan tampang pas-pasan, seperti nilai rupiah dalam sakunya.

Nama lengkapnya, Jarot Tungkil Seno Subagio Subroto Jiwo. Nama keramat warisan dari kakek buyutnya, buyutnya dan buyutnya lagi.

Tak ada hal menarik dari Gio sampai saya sendiri pun bingung, apa yang mau diceritakan.

Membayangkan 'patrapan' nya pun saya malas.

Namun Gio tetaplah Gio, tak peduli periode Avatar Aang yang sudah berakhir dan diteruskan Avatar Koora yang masih labil.

Gio masihlah Gio, tak peduli jabatan Hokage yang berhasil diraih Naruto dengan kampanye sehatnya yang menyuarakan go green.

Gio akan selalu jadi Gio, tak bisa jadi manusia super saiya atau super sentai.

Gio senantiasa jadi Gio, si manusia super santai dengan wajahnya yang super biasa tak jauh beda dengan ekonomi dalam sakunya, juga nilai ulangan pada rapornya.

"Udah, Yo?" tanya Devi si cewek tomboi berkulit hitam yang tengah memegang pot kecil berisi kaktus.

Gio mengangguk lalu buru-buru  mengangkat jari telunjuknya, membuat Devi mendecak sebal sambil mengumpat lirih walau tetap terdengar di telinga Gio.

"Oke, camera rolling and ... acti-"

"STOP! STOP!"

Gio mengangkat dagunya, melempar tatapan bingung pada Devi yang melotot tajam.

"Apa?" tanya Gio dengan nada santai andalannya.

"Lo ini photograper apa camera man sih?"

Gio mendongak, menatap langit-langit kelas yang plafonnya sudah retak sana-sini.

"Enaknya jadi apa ya?"

Sumpah, ujung bibir Devi berkedut dibuatnya. Bingung ingin mengatakan apa pada teman nya yang tengah menggaruk pipi kirinya yang hinggapi jerawat.

"YA MANA AKU TAHU!" sungut Devi  seraya melempar pot yang berada di  tangannya ke meja, hingga sedikit tanah dalam wadah tumpah.

"Bingung Dev, kamu jangan nambahin bingung dong," ujar Gio sambil meletakan kamera. Beralih merapikan kembali pot tak berdosa di hadapannya.

"Lo jadi ikut lomba?" tanya Devi mengalihkan rasa kesalnya.

"Lomba apa?"

Ini bagian yang paling di benci Devi. Jika Gio ditanya, Gio akan balik bertanya.

Plak!

Tampar Devi agak keras, sontak dua buah jerawat Gio yang siap panen meletus sia-sia di tangan hitam Devi.

"LOMBA YANG KEMAREN KAMU TUNJUKKIN BEGOK!" ujar Devi berapi-api. Mengusap tangannya dengan tisu basah Nandi yang ia curi.

"Oh, yang itu." Gio menjentikkan jarinya, berkali-kali seperti melatih perkutut bernyanyi.

"Enggak," sambungnya.

"Kenapa?"

Gio perlahan mendekatkan wajahnya yang tertampar angin lembut, mengalun bagai suara musik diperaduannya.

Tenang, desiran angin yang berhembus melalui jendela di sebelah mereka. Membelai setiap inci wajah Gio bagai belaian kekasih.

Rambut keritingnya melambai-lambai, tenang bagai mangrove di pantai.

Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang