23. | Cerpen | : Alunan Sebuah Impian

797 24 0
                                    

Sinar matahari senja menyorot langsung ke meja kerjaku. Aku memutuskan untuk beristirahat dari segala aktivitas yang membuatku merasa penat. Sambil meminum secangkir kopi, ku pandangi surya yang terbenam perlahan. Entah kenapa warna jingganya menyesakkan dadaku. Membuatku mengingat orang yang paling aku dambakan kehadirannya.

Kakakku.

Dirinya selalu membuatku tersenyum dengan lagu-lagu karangannya. Mengajariku banyak hal. Serta membuatku sadar tentang arti penting dari sebuah impian. Aku ingat betul hari itu, tepatnya 15 tahun yang lalu, saat kami terakhir kali bercakap-cakap di sebuah terminal yang jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Ia bilang ketika sampai di kota Bandung, dirinya akan mengirim surat kepada kami. Yah, karena 15 tahun yang lalu alat komunikasi jarak jauh jarang sekali ditemukan. Tidak seperti sekarang ini.

Rasanya sudah lama sekali. Hingga saat ini selembar surat pun tak pernah aku terima.

***

Namaku Siti Aisyah. Bapak yang memberiku nama cantik itu. Katanya agar aku selalu berperilaku baik seperti istri baginda Rasul, Aisyah. Aku tinggal bersama Bapak, Ibu, dan seorang kakak laki-laki bernama Ahmad Ghazali. Bapak juga yang memberikan nama itu. Kalian tau Imam Ghazali? Bapakku berharap kakak akan menjadi teladan seperti dirinya.

Kami tinggal di sebuah desa bernama Ngadirejo. Desa yang masih sangat tertinggal 15 tahun yang lalu di Kabupaten Temanggung, tapi kaya akan sumber mata air. Bayangkan saja, sepanjang jalan pasti banyak sekali ditemui tempat pemandian umum.

Aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Mas Ahmad kakakku selalu menjemputku setiap hari Sabtu di depan gerbang sekolah.

"Mas! Bolos lagi, yo? Aku aduin ke Bapak, lho," aku menggodanya. Pasalnya kakakku ini hampir setiap sabtu selalu membolos. Padahal ia sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi ia bahkan akan menghadapi Ujian Nasional.

"Hush, Jangan lah! Mas, belikan es krim mau?" tawarnya.

Aku pun mengangguk dengan senang hati. Mas Ahmad tidak hanya menjemputku, ia bahkan mengajakku berkeliling desa. Kadang kala sampai menyusuri tepi jalan raya. Sambil sesekali memberiku petuah tentang kehidupan. Di tepi sungai kecil kami duduk bersama, beristirahat sejenak. Aku memakan es krim yang dibelikan kakakku.

"Enak, Dek? Es krim-nya?" tanya Mas Ahmad. Aku mengangguk karena rasa es krim ini memang sangat enak. Di desa, penjual es krim keliling jarang ditemukan. Yang namanya lemari es pun jarang ada yang punya.

"Es krim itu manis dan dingin, tapi kita hanya sekejap menikmatinya. Seperti dunia ini," kata Mas Ahmad sambil menatap hamparan sawah hijau yang ada di depan kami.

"Mas! Sebenarnya Mas Ahmad ini mau jadi ustadz atau insinyur, to?" pertanyaanku sepertinya membuat laki-laki yang berjongkok di sampingku itu geli.

"Mas tetap mau jadi insinyur, lah!"

"Insinyur yang rendah hati dan selalu taat beragama," lanjutnya.

Meski Mas Ahmad selalu bilang mau jadi insinyur, menurutku ia lebih pantas menjadi ulama. Entah darimana dia mempelajari petuah-petuah yang sering ia sampaikan kepadaku. Mungkin Gen dari bapak adalah salah satu faktornya.

Ngomong-ngomong soal insinyur, Mas Ahmad pernah bilang ia sudah mendaftarkan namanya untuk mengikuti seleksi masuk ITB. Tapi Mas Ahmad tidak ingin aku memberi tahu kabar tersebut kepada ibu dan bapak. Ia ingin dirinya sendiri yang bilang. Karena keluarga kami tergolong di kalangan menengah. Dibilang berkecukupan juga tidak, dibilang kekurangan juga tidak. Aku tidak yakin apakah ibu atau bapak akan mengizinkannya.

Kami kembali berjalan setelah sekian lama melepas penat di tepi sungai. Akhirnya kami sampai juga di rumah. Rumah sederhana yang dindingnya sebagian masih berupa kayu. Tak lupa kami mengucap salam sebelum masuk.

Event (1) Melangitkan Impian [ Sudah Terbit ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang