•Dua puluh delapan•

3.8K 307 127
                                    

Kalau ada typo kasih tahu yup.

Happy reading ❤️

***

"Vivi di mana?" Perlahan mata Vivi terbuka, ia memegang kepalanya lantaran pusing menyerang.

"Kamu di mana? Kamu sudah di neraka Vivi," ucap Geo dengan nada menyeramkan.

Mata Vivi menatap sekitar, ia tidak tahu di mana tempat ini. Air matanya tiba-tiba jatuh. "Kak Deva, kak Vlo, mana?"

"Jangan berharap sama mereka, karena mereka semua bodoh, gak bisa ngejar kita. Jadi kak Geo bisa main-main sama Vivi, lebih puas."

"Kita mau main apa kak?" tanya Vivi sedikit girang. Anak itu terlalu senang jika seseorang sudah mengajaknya bermain.

Geo memegang dagunya, nampak sedang berpikir. "Gimana kalau sayat-sayat pake pisau? Atau potong tangan? Jambak rambut? Cincang daging?"

Vivi menggeleng. "Vivi gak mau main itu, serem. Main boneka Barbie aja ya kak."

"Mau Barbie ya? Gak asik. Kak Geo lagi pengen sayat kulit kamu, gimana dong?"

"Kak Geo jangan, sakit."

"Justru kesakitan kamu, jadi kesenangan sendiri buat kakak. Mari kita mulai permainannya," ucap Geo lalu memakai sarung tangan dan mengasah pisaunya.

Vivi ingin kabur, tapi tidak bisa lantaran tangannya diikat dan kakinya juga sama, sialan!

"Awalnya kakak mau jahit mulut kamu, biar gak ganggu konsentrasi kakak pas buat karya di kulit kamu, tapi gak jadi. Jeritan kamu lebih kakak tunggu, karena itu bisa menenangkan jiwa kakak," katanya. Geo mendekat dan mulai menancapkan pisau itu pada perut Vivi.

"Kak Geo, jangan. Hiks....sakit," ringis Vivi saat pisau itu mulai menulis di kulitnya.

Geo tak mendengarkan ucapan Vivi, ia nampak fokus membuat ukiran pada perut Vivi. Darah mulai bercucuran, Geo menghirup dalam-dalam, lalu tersenyum mengerikan. Lelaki itu membuat tulisan 'i hate' pada perut Vivi, dengan tinta merah yang semakin membuat luka itu terlihat mengerikan.

"Sekarang kakak sayat mana lagi ya? Ah iya, sebelum itu kakak mau tanya sama kamu, kamu tahu gak kenapa kakak bisa lakuin ini sama kamu?" tanya Geo.

Vivi berusaha menahan isakkannya. Perih di perutnya masih terasa, bahkan sangat sakit rasanya.

"Nggak," jawab Vivi lirih.

"Karena kamu berani bilang sama kak Vlo, kan kakak udah bilang jangan macem-macem, jadinya kamu gini kan."

Geo mengambil sedikit kulit pada bagian pipi, Vivi. Lalu ia iris menggunakan pisau, seperti sedang memotong kulit ayam.

"Sakit ka.....hiks.....Vivi minta maaf," tangis Vivi. Jangankan Vivi, kita saja yang sudah besar kalau diperlakukan seperti itu akan kesakitan, bukan?

"Maaf kamu udah gak mempan, gadis kecil nakal."

Geo menyimpan pisaunya di meja, lalu beralih mengambil tang yang lumayan besar dan berjalan mendekati Vivi. "Udah kak..... sakit.....hiks."

For a Moment [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang