Setelah kejadian tadi pagi, membuat Gavin dan Gilang di hukum. Mereka di hukum mengelilingi lapangan SMA Pasifik yang sangat luas. Ditambah lagi cuaca hari ini sangat terik. Membuat siapapun tidak kuat bila berlama-lama di bawah terik matahari.
Gavin menjalankan hukumannya dengan ekspresi datar, ekspresi itu membuat siswi yang melihat tidak tahan karena Gavin terlihat lebih cool.
Di jam kedua ini kelas XI IPA 2 sedang pembelajaran olahraga. Terlihat Pak Jajang sedang memberikan materi tentang bola basket. Namun sebagian siswi malah memperhatikan Gavin yang sedang lari. Tak terkecuali Aletea yang melirik diam-diam tanpa sepengetahuan yang lain.
"Ka Gavin ganteng banget ya, apalagi keringetan gitu." bisik Dela yang berada di spring Aletea.
Aletea hanya diam, tidak menjawab. Namun dalam hati ia membenarkan ucapan sahabatnya itu.
Aletea sudah lama menyukai Gavin, bahkan sebelum ia satu sekolah dengan kakak kelasnya itu. Awal mula ia suka Gavin ketika abangnya itu mengajak sahabatnya ke rumah mereka. Waktu itu Aletea tidak berani ke bawah untuk menemui sahabat abangnya itu, jadi sampai sekarang tidak ada yang tahu bahwa Aletea adik dari seorang Aleo. Dulu, Gavin cueknya tidak separah sekarang, masih bisa diajak bercanda. Namun setelah satu tahun kemudian, tepatnya saat ia masuk SMA ia mulai melihat perubahan Gavin.
Ia tidak tahu mengapa Gavin berubah walaupun tetap sama sama sama dingin.
"Tea!" panggil Dela.
"Aww!!" ringis Aletea.
Lamunan Aletea buyar seketika saat bola basket menghantam tangannya tiba-tiba. Tidak terlalu sakit tapi mampu membuatnya terkejut.
"Maaf ya Tea, gue gak sengaja." ujar Bela, teman sekelasnya yang tak sengaja melemparkan bola basket dan mengenai Aletea.
Aletea tersenyum, "iya gapapa." Ia melihat lengan kirinya yang tadi terkena lemparan bola. Lengannya menjadi memar, padahal lemparannya tidak terlalu keras. Cepat-cepat ia menyembunyikannya sebelum ada yang melihat.
"Lo gapapa, Te? Coba sini gue liat tangannya." Dela ingin melihat tangan Aletea, namun Aletea menghindar.
"Gapapa kok, gak sakit juga."
"Bener nih?" mata Dela memicing.
"Iyaa."
"Ya udah ayo masuk barisan lagi!"
***
Gavin sudah selesai dengan hukumannya, seragam sekolahnya basah karena keringat. Ia membuka botol kemasan air putih yang tadi diberikan oleh Leo.
"Harusnya tadi lo gak kepancing sama tuh bocah satu!" nasihat Leo.
"Dia udah keterlaluan." jawab Gavin singkat.
"Bener tuh kata Leo, tumbenan otak lo jalan," kalimat terakhir Agam itu ditunjukkan untuk Leo.
"Yee, sialan lo!" kekeh Leo.
"Tea!"
Teriakan itu membuat Leo, Arga dan Agam menoleh ke sumber suara. Sedangkan Gavin hanya menatap lurus ke depan, tidak peduli.
"Bukannya itu pacar baru lo, Yo?" tanya Arga pada Leo.
Di sana terlihat Aletea yang sedang duduk sambil memegangi tangannya. Leo yang melihat itu merasa khawatir, walaupun mereka sering berantem itu tidak mengubah rasa sayangnya pada adiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Refulgence
Teen Fiction[Follow Sebelum Membaca Yaa!! Gracias!!] Kehidupan seorang Gavin itu penuh misteri. Di hidupnya tidak ada warna lain selain hitam dan abu-abu. Semuanya semu semenjak kematian orang terpenting dalam hidupnya. Aletea adalah seorang gadis biasa, hidupn...