01. Absinthe untuk Gadis yang Malang

750 130 65
                                    

"Aku harus melakukannya!" ucapnya menguatkan diri. Ia bergumam-gumam dalam Inggris sekalipun bukan itu bahasa ibunya. "Barangkali aku akan menemukan Charlotte di sini."

Ia melangkah cepat di atas lantai bandara John Kennedy. Matanya nyaris bengkak karena menghabiskan berjam-jam belakangan dengan menangis. Ia bahkan tak memedulikan lagi keadaan rambutnya yang sudah sangat kusut. Jauh-jauh datang dari Eropa hanya untuk meredakan sakit hatinya. Masalahnya sudah terlampau banyak, ia tak sanggup lagi menahannya.

Koper bawaannya yang naif bahkan ikutan dimaki. Sangat wanita sekali, kalau suasana hati sedang buruk, apa pun disalahkan. Yakin ia akan mengumpat jika sampai di pemberhentian taksi belum ada yang siap.

"Selamat petang. Kemana tujuan Anda, Nona?" tanya sopir taksi berambut pirang itu.

Gadis itu mengatakan dengan suara serak bahwa ia ingin ke kelab. Buru-buru menyerahkan koper untuk disimpan di bagasi. Mukanya cantik, namun tampak tidak menyenangkan karena sisa tangis hingga membuat sang sopir mengernyit. Ia menambah perintah agar diantarkan ke penukaran dolar dan dijawab sopir taksi, "Tentu."

Tempat penukaran itu hanya berjarak tak lebih dari satu mil dari gerbang masuk bandara. Sang sopir menunggu di mobil selama penumpangnya yang sedih sibuk menukar lembaran-lembaran Euro dengan dolar Amerika. Beberapa menit kemudian mobil melaju lagi.

Sepuluh menit berlalu dengan keheningan. Pria Amerika itu mengamati penumpangnya dari spion. Ia menatap kosong jalanan New York melalui kaca mobil. "Perjalanan melelahkan, ya?" tanya sopir taksi pada akhirnya.

"Seperti kutukan, terima kasih," jawabnya tanpa menoleh. Mengingat kesedihannya, perasaan gadis itu teriris. Satu-satunya yang membuatnya berhasil terlelap ketika berada di kabin adalah kelelahan karena penderitaan itu.

Sopir taksi meneruskan, memancingnya untuk bercerita. "Maafkan aku, Nona. Tapi perkenankan aku memberitahu Anda bahwa kami orang Amerika adalah pendengar yang baik."

Gadis itu tersenyum, jelas sekali senyum dusta. Ia hanya berterima kasih dan mengatakan sang sopir baik sekali. Dengan begitu, menolak bercerita. Suaranya hampir seperti orang Perancis karena hidungnya tersumbat dan sopir taksi mengira memang begitu.

Percakapan itu tak bertahan lama, keheningan kembali menguasai. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah kelab. Gadis itu membayar setelah melihat nominal di fare-meter. Sopir turun untuk mengambil koper dari bagasi. Lalu mobil berlalu.

Gadis itu hampir lupa kapan terakhir kali pergi ke kelab. Kesibukan memakan semua waktu bersenang-senangnya sejak tiga tahun lalu. Mata emerald-nya bergerak-gerak mengamati bangunan dua lantai yang gelap dari luar, bercahaya dari dalam itu. Berkamuflase dengan jejeran gedung kumuh di wilayah East New York. Dengan jaminan privasi yang mutlak. Sebelum memutuskan pindah ke Amerika, ia sempat berniat untuk bunuh diri. Untungnya pikiran rasionalnya masih lebih dominan daripada perasaannya.

Ia melihat dua orang pria dengan jas hitam di depan kelab. Mungkin itu pegawai. Gadis itu menyodorkan koper ke arah salah satu dari mereka yang sebelumnya membelakanginya. "Ini, jaga koperku. Aku akan mengambilnya setelah urusanku di dalam selesai. Ini tip-nya." Ia menempelkan selembar uang 20 dolar di dada pria yang menjulang tinggi itu. Tentu saja asal ambil, mana ada yang senang hati memberi tip sebanyak itu?

Ia meninggalkan pria yang masih berdiri dengan kondisi bingung. "Hei, Nona!" seru pria tadi. "Kaupikir aku siapa?"

Teriakan itu tak teracuhkan. Tertinggal kabur. Pria itu mengernyitkan dahi dan menggeleng heran. Dilihatnya uang pemberian gadis itu. Tip? Astaga, apa dia bercanda?

Ia menyerahkan koper silver gadis itu ke pria di depannya. "Lakukan saja sesukamu," katanya. "Kau bisa pulang, Lex. Aku akan menyetir sendiri. Wait." Dia mengangkat jari sesaat lalu melepas dasi, menempelkannya di dada sang asisten.

Memories and Salvation ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang