09. Salvation (Keselamatan)

289 93 17
                                    

Satu jam kemudian, Sharon mendapati dirinya tersenyum dan bersyukur dalam hati karena ibu mertuanya tidak lagi menanyakan rumah tangganya dengan Harvleon. Sudah cukup semua itu membuatnya sinting sore tadi. Lain kali, Sharon bersumpah, ia tak akan mau diundang ke rumah itu tanpa Harvleon menemaninya. Bukan berarti ia mau terus-terusan bersama pria itu. Ia hanya tak mau lagi harus terlibat dalam percakapan erotis yang membawa rasa panas di pipinya.

Meski demikian, dengan Felicity di sampingnya, saat ini mata Sharon tak berkedip dari film yang menampilkan adegan penuh ketegangan. Kapal yang menjadi salah satu propertinya terombang-ambing oleh ombak badai. Sudah dipastikan akan berciuman dengan batu karang raksasa yang berdiri angkuh, gelap, dan menyeramkan di depannya.

"Mereka bisa remuk," geramnya.

"Mereka akan selamat," ucap santai Felicity sambil mengunyah popcorn. "Palingan hanya lecet satu-dua bagian."

"Nyaris tak masuk akal, Ma."

Felicity menyeringai. "Semua film seperti itu, Sayang."

Sharon tercengang saat Lara, sang aktris, terjun bebas ke lautan. Meninggalkan kapal tepat sebelum kapal itu koyak menghantam hantu laut. Ia tak habis pikir, apa gadis itu berani atau bodoh.

Setelah bergulat dengan ombak yang tak punya ampun, Lara terdampar di sebuah pantai gelap. Pulau batu karang dengan banyak sekali tulang, entah kerangka manusia atau makhluk lain. Sharon ikutan ngeri saat sekumpulan bayangan menyeramkan mendekati Lara. Bertepatan dengan adegan ketika ada sesuatu yang memukul kepala Lara, sebuah tangan tiba-tiba mencomot popcorn yang ada di jemari Sharon. Ia terlonjak, berteriak histeris.

Tangannya spontan melayang ke arah kepala pria yang ada di belakangnya. Tapi pria itu sempat menghindar, dan kenyataan bahwa tangan Sharon terlalu mungil, sehingga Sharon tidak memukulnya dengan sempurna. Melihat siapa pria usil itu, kejengkelannya semakin memuncak. "Harv, kau menyebalkan!" jerit Sharon.

"Astaga, Harvleon!" sahut Felicity yang juga terkejut.

Harvleon malah menyengir santai. "Bagaimana bisa kedua wanitaku bersenang-senang tanpaku?" Ia melompati sofa untuk duduk di samping istrinya. "Apa yang kulewatkan?"

Sharon menghela nafas untuk menormalkan detak jantungnya. Cukup sadar dengan keberadaan Felicity. Kalau tidak, atau kalau ia tidak peduli lagi kepantasan, ia sudah melontarkan umpatan seribu bahasa kepada Harvleon. Ia berharap para penghuni rumah lainnya tidak terganggu dengan teriakan lantangnya tadi.

"Kapan kau datang?" Felicity mewakili pertanyaan di ujung tenggorokan Sharon.

"Sekitar lima menit lalu, Mom."

"Lain kali jangan mengagetkan lagi! Apa kau tak kasihan dengan istrimu?"

Harvleon terkekeh seraya mencubit pipi Sharon. "Baiklah, maafkan aku," ujarnya konyol.

Drama lagi! Sharon mengusap pipinya yang dicubit.

Sebenarnya waktu itu digunakan Harvleon untuk mencari kesempatan dalam kesempitan. Ia sengaja menyusul Sharon karena sudah dipastikan kalau mereka akan bersandiwara di depan orang tuanya. Ia bosan selalu bertengkar. Sudah lama juga ia tidak bermain-main dengan para wanita. Bermesraan dengan Sharon sebenarnya menyenangkan juga. Akhir-akhir ini urusan Harvleon sangat padat. Ia juga pusing dalam mengurusi data Sharon--terutama ketika ada suatu hal lain yang mengganggunya.

"Sudah kubilang kan, Sharon?" goda Felicity. "Suamimu itu tidak akan betah berjauhan denganmu."

"Sebenarnya," kata Harvleon, "aku khawatir Sharon yang tidak betah. Aku belum memperingatkan istriku betapa cerewetnya ibuku." Ia melihat Sharon yang melototinya. "Meskipun kurasa Sharon sudah bisa menyimpulkannya."

Memories and Salvation ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang