Manhattan, New York
Dua minggu setelah pulang dari Bergen Country, Sharon telah terbiasa mengabaikan perjanjian konyol yang ditandatanganinya. Ia nyaris menikmati kehidupan yang... diatur Harvleon. Ia telah merenungkan apa yang harus dilakukannya ketika ia masih bersama keluarga Alvonsio senior. Benar--sambil berlari di atas treadmill, dengan sebuah headphone tanpa kabel di kepalanya, Sharon menyadari--lebih baik ia menurut saja.
Beberapa meter di belakangnya, sepasang manik cokelat kemerahan, teduh di bawah bulu mata lentik, menatapnya dengan damai karena ia tak perlu berdusta. Sharon memunggunginya, lagi pula gadis itu bahkan tidak bisa mendengar kedatangannya ketika pintu terbuka.
Ada hal lain dalam sorot mata itu. Sebuah kekaguman yang bukan kecil. Namun, sekali lagi untuk kesekian kali, pemiliknya terlalu gengsi untuk mengungkapkannya. Bahkan tidak untuk mengakuinya pada diri sendiri. Apalagi ia iri dengan wanita itu yang tak pernah mengatakan kalau dirinya tampan. Harvleon pastinya selalu menemui cermin tiap hari, ia yakin kalau sombong bukanlah kata yang tepat untuk wajahnya. Entah ego siapa yang lebih mendewa dari kedua insan itu.
Ketika suara di telinganya berteriak, Sharon ikut menyerukan kemarahannya dengan lantang, "Cause we keep on coming back for MORE! Woohoo!"
Tepat setelahnya, hanya menjadi suara bruk yang menggelikan.
Gempa bumi skala terkecil yang pernah ada.
"Aw!" Sharon terpeleset, menghasilkan kejenakaan yang begitu sempurna. Dan kalian pasti bisa membayangkan apa yang selanjutnya terjadi. Sama seperti iklan Apple Music - Taylor Swift vs Treadmill.
Tak bisa dipungkiri, hal itu benar-benar membuat Harvleon tergelak dengan tawanya yang menggelegar. Sedangkan korban dari insiden itu meringis kesakitan dan tentunya malu.
"Kau sungguh menghiburku pagi ini, Sharon," kicau Harvleon yang masih tak henti menertawai.
Sharon mendengus sambil melempar pria itu dengan headphone tanpa kabelnya. Harvleon tak tahu jika benda lengkung itu melayang ke arahnya, alhasil lemparan Sharon tepat sasaran--atau setidaknya mengenai bahunya.
"Aw!" seru Harvleon. "Dasar gadis British agresif! Sejak berteman dengan Mom, kau jadi lebih Perancis*, hah?!"
"Sejak kapan kau di sana?" Sharon mengubah posisi menjadi duduk. Kedua lengannya memerah dan nyeri, begitu pula lututnya. Sialnya, dia memakai hot pants.
Tawa jenakanya berubah menjadi senyum sinis, mendakwa. Harvleon berpikir gadis itu tak memerlukan jawaban--lebih tepatnya ia yang tak mau berlagak konyol dengan menjawab pernyataan itu. Sudah cukup beberapa waktu ini gadis itu membuatnya terjaga larut malam karena terus menerus memikirkan apa yang sebenarnya sedang ia rencanakan. Sejak awal wanita itu adalah pemberontak memusingkan yang hanya akan mematuhi perintah Harvleon jika ia merasa telah terlalu lelah melawan. Tapi kini, sikap lebih lunak wanita itu lebih mencurigakan lagi. Harvleon tak yakin kapan ia menyadari perubahan itu. "Betapa ceroboh."
"Jauh panggang dari api**," gerutu Sharon. Ia mendengus dengan muka ditekuk, reaksi itu tak mampu dihindari. Harvleon meninggalkan wanita itu entah ke mana. Sekali lagi Sharon mendengus. "Piece of shit!"
Bersungut-sungut, ia berdiri susah-payah. Berjalan pincang ke arah treadmill dan mematikan benda sialan itu. Setelahnya, ia memilih duduk berselonjor dan memijat lengannya. "Kenapa sih harus jatuh di depan manusia berengsek itu?!"
"Ya, baguslah," celetuk Harvleon yang tiba-tiba muncul dengan sebuah baki berisi handuk dan es batu. "Aku jadi punya bahan untuk memperolokmu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
Roman d'amourHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...