Kemeja Harvleon seperti tunik yang terlalu pendek di tubuh Sharon ketika ia berdiri penuh kejengkelan di depan cermin. Sambil mengumpat, ia menyentuh bagian lehernya yang sedikit lebam. Ketika pandangannya turun, ia mengernyit ngeri melihat hal yang sama di bagian dalam pahanya. Dan Sharon mengumpat lebih keras.
Sementara Harvleon, yang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, asyik mengamati tingkah istrinya. Meski Harvleon juga minum alkohol, ia tak cukup mabuk untuk melupakan bagaimana semua itu terjadi. Wangi parfum wanita itu bahkan masih melekat di tubuhnya.
Sialan, tadi malam itu luar biasa!
Wanita itu masih menggerutu tajam. "Kurang ajar! Bedebah sialan!"
"Yang kaunikahi." Karena tahu Sharon tak mungkin mau mendatanginya, Harvleon memaksa diri mengayunkan kaki menuruni ranjang dan menggenakan kembali celananya. Kalau ia tidak mengingat Sharon masih menjadi wanita yang siap menguliti dirinya, ia memilih telanjang saja untuk mendekati Sharon. Harvleon memeluknya dari belakang.
Merasa risih, Sharon menyikutnya keras. "Lepaskan aku! Astaga, semua hickey ini!"
"Kupikir itu adil untuk cakaran di punggungku. Tapi masa bodoh sekarang!" Harvleon justru menghirup bahu Sharon.
"Lepaskan aku!"
"Kau yang menggodaku, Sugar." Meski demikian, Harvleon melepaskan pelukannya.
Sharon masih ingat bagaimana efek yang timbul di dalam tubuhnya semalam. Harvleon memang tak sepenuhnya salah. Bahkan dengan sedikit gambaran erotis yang sanggup ia ingat--bahwa ia bertingkah dengan tak pantas semalam--membuatnya mengakui ialah yang salah.
"Tapi kau bisa, eum,"--ia ragu ingin menyebutnya--"hanya melakukan itu saja. Kita akan pulang hari ini, ingat. Jika orang-orang melihat ini, mereka akan mengira--"
"Jika orang-orang tidak melihat bekas ciuman luar biasa itu, mereka akan curiga."
Dengan masih mendongak pada Harvleon, Sharon diam beberapa saat.
Harvleon tergoda pada bibir yang jelas begitu dekat itu. "Aku masih ingat persis bagaimana kau meneriaki namaku," katanya parau, sambil menyelipkan beberapa helai rambut Sharon ke belakang telinga. "Percayalah, kau wanita pertama sejak 4 bulan lalu."
"Iww, hentikan itu, Harvey!" Ia tak percaya mengapa ia menanggapi percakapan konyol itu. Ia bisa pura-pura bodoh dan tidak peduli dengan pergi ke kamar mandi bermenit-menit yang lalu dan kontak sialan mereka tidak terulang lagi. Tapi...
"Aku jadi suka panggilan itu--Harvey. Coba katakan sekali lagi, Sugar."
Dengan mata menyipit, Sharon berkata dengan nada penuh kejengkelan, "Semalam semata-mata karena aku mabuk dan obat yang kaujelaskan. Ada perbedaan besar antara bercinta dengan hanya seks."
Sharon memang menghabiskan setengah botol vodka setelah kejadian pertama di balik pintu hotel. Harvleon tetap memarahinya setelah mereka melakukan itu, tapi Sharon tidak peduli. Tidak ketika rupanya pengaruh obat masih membutakannya.
Persetan, pikir Sharon ketika Harvleon menatapnya kesal, ini menggila.
Dan setelah yang terjadi, Harvleon membuktikan wanita itu melakukannya dengan baik. Alkohol membuatnya begitu? Atau membuatnya jujur?
"Alibi yang bagus." Harvleon mengangguk-angguk. Sepenuhnya yakin akan memenangkan perdebatan kali ini, ia menundukkan kepala dan menyerang lagi. Ia merendahkan suaranya. "Tapi kaulah yang menyulut gairah itu, Mrs. Alvonsio."
"Omong kosong!"
Harvleon melihat wanita itu berubah serius marah, tapi ia tetap menggodanya. "Dari permainan tubuhmu yang jauh lebih jujur, kau menikmatinya, kan?" Ia tertawa sebentar untuk mengejek. "Kau tak cukup mabuk untuk melupakan itu. Setidaknya untuk satu jam pertama, jalang kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomanceHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...