Arabella masih terlelap dengan keadaan tubuh yang begitu polos di balik selimut putih tebal. Ia kemudian sadar saat merasakan sebuah tangan hangat mendarat di pipinya. Dia tersenyum, tapi masih memejam. Gadis itu bergumam lalu berujar pelan dan menggoda, "Kemarin malam," ia menjeda kalimatnya untuk mencari kata yang tepat, "spectacular."
Tanpa sepengetahuannya, pria yang menempelkan tangan di pipinya itu tersenyum miring. Sedikit ingin menertawakan. "Sungguh?"
Sialan!
Arabella mengumpat dalam hati. Ia kenal persis suara itu. Sama sekali bukan suara yang ia harap dengarkan pagi ini. Dan dengan situasi saat ini, adanya suara itu benar-benar membuatnya kesal. Arabella langsung mengerjab dan menepis tangan itu darinya.
"Keparat Italia!" semburnya keras. "Bagaimana kau ada di sini?!" Mata Arabella menyelidik isi ruangannya sendiri, dan akhirnya mendapati seorang pria lagi dengan wajah tanpa ekspresi. What the hell! Bagaimana bisa pria itu begitu mudahnya tidak berekspresi?
Arabella akhirnya mengingatkan dirinya kalau pria itu memang misterius, dingin bukan main, dan terkadang, bagi Arabella apalagi, sungguh-sungguh menyebalkan. Ia mungkin sedang menyembunyikan keterkejutannya juga di balik wajah tanpa aura itu. Arabella hanya bisa membaca isi pikirannya jika jarak mereka setidak-tidaknya dua meter. Hanya pada matanya yang seperti lelehan emas itu dia akan tahu apa yang dirasakan pria itu.
Ia tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kejadian di New York berminggu-minggu yang lalu itu. Ia heran sekaligus kagum dengan dunia. Dari sekian jenis manusia, ia justru menemui para pria Italia yang menjengkelkan. Menjengkelkan namun yang dengan mengesankan mampu membuat pipinya memanas.
Dan saat ini, seorang keturunan Italia juga bersamanya. Arabella cukup tahu dengan siapa dia akan mengudara, seorang konglomerat penuh loyalitas, yang namanya sudah tak asing di berbagai antero planet biru. Tentu saja hal ini menjadikan sebuah keharusan pemberian kategori berkualitas untuk apa pun yang berurusan dengannya.
Dengan pria bernama Harvleon itu.
Karena demikian, Arabella sengaja memesan kelas atas di kabin maskapai penerbangan yang akan membawanya ke Amerika. Ia ingin memesan kelas satu, tapi sayang semua tiket sudah terjual. Hanya kebagian kelas bisnis untuk mereka. Tapi setidaknya ini lumayan daripada pria itu menggerutu saat duduk di kursi pesawat.
Arabella menoleh ke Harvleon yang wajahnya terlihat penuh penderitaan. Pria itu memandangi luar angkasa yang gelap dari jendela pesawat. Musim dingin terkelam semasa hidupnya. Bahunya yang dulu selalu tegap penuh keangkuhan, kini lebih bungkuk dan melambangkan keputusasaan dalam menghadapi badai kehidupannya. Jangan heran kalau Arabella memerhatikan perubahan itu. Dia sudah memantau kehidupan Harvleon sejak tahu ada kedatangan Katherine di sana. Arabella tidak peduli dengan pria itu, urusannya hanyalah dengan Kat.
"Percayalah," Arabella memecah keheningan, "wajah menyedihkanmu bukan apa-apa jika dibanding reaksi Kat saat dia terbang ke Amerika. Hampir setahun yang lalu, kan?"
Harvleon tersenyum datar. Binar tenang di matanya terkesan palsu. Tapi setidaknya ia tampak lebih bersemangat kali ini, sedikit saja, sejak mengetahui cerita-cerita itu.
Terlepas dari perbedaan mencolok yang Arabella coba perlihatkan, Harvleon pastinya melihat sosok istrinya dalam wajah wanita itu. Kehadiran Arabella nyaris membuat segala penantiannya terbalas. Tapi ia terpukul penyesalan ketika menyadari Sharon-nya telah pergi. Dan kehadiran Arabella justru menambah rasa sakit yang tercipta karena fakta itu.
Tapi kini, dengan senyuman yang berhasil ia buat, Harvleon berusaha membuat suaranya tetap tegar. "Cerita wanita itu selalu menarik untuk di dengar," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
Roman d'amourHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...