08. Ruang Televisi di Lantai Atas

303 92 21
                                    

Cermin sialan!

Sharon segera mengalihkan pandang, menatap dirinya sendiri di cermin, begitu Harvleon membalik badan, memandangi wanita itu dengan tatapan mengejek. Satu-satunya sabun di tempat itu dengan wadah yang menghasilkan bunyi klik ketika ditutup adalah sabun untuk wajah. Ia tahu persis bagaimana para wanita memakainya. Tapi wanita satu ini tidak membasuh mukanya, melainkan meratakan busa itu di tangannya.

"Aku baru tahu kalian juga memakainya di tangan."

Sharon menutup mata dan menghela nafas untuk mengendalikan diri. "Tanganku kering..."--maafkan dia karena berdusta--"dan sabun ini lumayan juga untuk membuat kulitku kembali lembab."

Sharon berkali-kali mengumpat dalam hati. Gemas sekali ingin mencabik muka Harvleon, mencekik lehernya hingga patah, dan mengunyah daging yang menyusun bibir menjengkelkan itu.

Oh, astaga, aku benar-benar ingin membunuhnya!

Sharon membilas tangannya. Ia melirik Harvleon dari cermin--hanya sepersekian detik--lalu kembali berpaling. Pria itu masih menatap menghakiminya.

"Mengapa hanya melirik?" imbuh Harvleon. "Bukankah kau suka melihat tubuhku, istriku sayang?"

Sharon berusaha keras untuk tidak menggeram. Selama itu, dia hanya bisa diam. Berharap kalau Harvleon tidak sedang dalam mood baik yang akhirnya hanya berujung pria itu terus menggodanya. Dan setelahnya, Harvleon hanya akan semakin mengejeknya.

"Mengapa diam?" tukas Harvleon.

Sharon membalik badan dan--mati-matian berlagak--menampilkan muka biasa saja. Demi apa pun, Sharon tahu ia akan semakin dipermalukan jika tidak mengambil risiko menghadapi pria itu. "Apa maumu?"

Seberapa jauh kau bisa menahannya, Sharon? Harvleon mendekat. "Mengapa kau selalu berpura-pura?"

"Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku."

Harvleon mendecih. "Kurasa kau tak butuh jawaban. Dan jawab pertanyaanku!" Ia kembali memangkas jarak di antara mereka.

"Yang mana?" Sharon berkilah. "Kau terlalu banyak bertanya."

Damn, tidak ada lagi ruang untuk menyingkir, Sharon sudah menempel pada wastafel. Dan tangan sialan Harvleon menumpu di wastafel, mengunci Sharon.

"Berhenti membual, Sharon! Akui saja kalau kau mencintaiku, kan?"

"Mr. Alvonsio, menyukaimu saja tak pernah terpikirkan olehku, bagaimana bisa aku mencintaimu?"

Hidung mereka hanya berjarak 3 inci dan bahkan semakin menipis. Sharon tidak menyerah, ia tetap menantang Harvleon dengan mata hijaunya. Hanya satu yang tidak terkendali, detak jantungnya yang semakin meningkat. Berdekatan dengan Harvleon bukanlah hal yang baik untuk kesehatan jantungnya. Sharon hanya bisa berharap kalau Harvleon terserang tuli mendadak.

"Menyingkir dariku, Italia berengsek!"

"Setengah Perancis dan Amerika, Sugar," balas Harvleon pelan dan dalam.

Sharon mendorong dada Harvleon, tetapi tak berhasil mengusirnya. "Drama apa lagi yang sedang kaulakukan, Harv?!"

"Apa kau atheis?" tukas Harvleon santai. "Tidak pernahkah kau diajari untuk tidak berbohong?"

Memories and Salvation ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang