Berlin
Setelah berbagai ritual perawatan di salon, yang tentunya merupakan perintah Harvleon, Sharon merasakan jiwa raganya memuda kembali. Begitu pun pikirannya bisa lebih rileks. Setidaknya untuk kali ini.
Di sanalah mereka berada, di backseat Rover yang disewa Harvleon selama di Jerman. Perjalanan dari butik salon ke gedung tempat peragaan busana digelar. Sharon berpikir yang dilakukan Harvleon sedikit berlebihan, menghabiskan ribuan euro hanya untuk treatment perawatan dan gaun Sharon. Belum lagi pakaian pria itu yang merupakan keluaran Hugo Boss.
Dan ia sedang tenggelam dalam fokus ke layar laptop. Tentu saja melakukan eleborasi masalah bisnisnya. Berulang kali ia menerima panggilan dari berbagai sumber, kebanyakan laporan para partner bisnis.
Sharon memandangi pria yang hampir infallible itu. Alis tebalnya, bulu mata lentik, hidungnya, bibir good kisser itu! Sialan, pikir Sharon, mengapa bajingan ini tampan sekali sih?
"Sudah puas?" tegur Harvleon tanpa berpaling muka.
Sial!
Sharon mendeham untuk mengurangi rasa gerogi. Ia bahkan sempat terlonjak karena kaget ditegur Harvleon. Bukan, tapi dipergoki!
"Apanya?" balas Sharon, mempertahankan suaranya tetap datar.
Harvleon mendengus singkat. Ia berkata dengan luar biasa percaya diri, "Kau memandangiku."
Sharon menunduk malu. Ia merintih pelan, "Egh, siapa bilang?"
Harvleon merendahkan kepala kepada Sharon, lalu mengubah suaranya menjadi bisikan merayu. "Aku melihatnya, Nyonya."
Sharon mengatur nafas dengan kikuk. Ia harus secepatnya berkilah daripada membiarkan kepala Harvleon semakin membesar. Ia mendongak dan berkata, "Baik, aku mengakui. Aku hanya kagum dengan ketekunanmu bekerja." Lalu menunduk lagi—melihat wajah Harvleon yang menggoda hanya mempersulit usahanya untuk tidak tersenyum.
Pria itu menyeringai lebar sebelum menutup laptop. Ia memiringkan kepala untuk bisa melihat wajah Sharon yang sedang wanita itu berusaha sembunyikan.
Tatapan mereka terpaut. "Terima kasih," katanya.
Ya, ampun! Dua kata saja sudah membuat jantung Sharon berdebar kencang.
Alvonsio sialan! Sial! Sial! Sial!
Sopir menghentikan mobil itu. Sharon bersorak lega dalam hati saat tahu mereka sudah sampai di tempat tujuan. "Ah, tempatnya bagus juga," komentarnya pada gedung warna krem itu.
Puluhan blitz kamera menghantam mereka begitu pintu dibuka. Layaknya sesi karpet merah di malam penganugerahan Oscar, banyak tamu yang sebentar hinggap di atas permadani itu. Berpose anggun agar para reporter dapat memotret dan memenuhi tugasnya.
Suara bising pemburu berita yang membombardir dengan berbagai pertanyaan sedikit membuat Sharon tidak nyaman. Ia masih tak habis pikir, mengapa cerita kehidupan para kaum sejajar Harvleon bisa begitu laku dijual? Sedangkan bagi Sharon, menjadi bagian dari Alvonsio adalah kutukan.
"Mr. Alvonsio," teriak salah satu reporter. "Apa benar Anda akan terjun ke dunia politik? Apa Anda akan mencalonkan diri di pemilu tahun depan?"
Harvleon jadi presiden?
Sharon ingin tertawa mendengar pertanyaan tadi. Isu dari mana sih? Harvleon mengatur rumah tangganya saja tidak becus. Mana mungkin dia berkutat di gedung putih dan mengatur US? Lelucon yang menggelikan. Tapi sedikit mengundang kontroversi juga sih.
Pertanyaan seputar itu, juga banyak hal, ikut menyambar. Keduanya, pasangan Alvonsio itu, belum ada yang buka mulut. Bahkan tidak ada niatan untuk mendengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomanceHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...