Sebuah bangunan bergaya Perancis terlihat begitu anggun di antara jejeran outlet berbagai jenis lainnya. Cat warna ivory yang melapisinya senada dengan gaun selutut yang dipakai Sharon. Harvleon memberikannya pagi ini. Dan butik, ke sanalah tempat Harvleon membawanya. Membuatnya bertanya-tanya dalam hati.
Belasan patung manekin berjejeran seperti model anggun dalam berbagai gaun. Ada tulisan pada kartu keemasan yang dikalungkan pada setiap manekin, menunjukkan sebuah nama indah yang diberikan sang desainer pada gaunnya. Di balik kartu ada petunjuk kapan gaun itu selesai dibuat. Ketika diamati, penataan gaun rupanya didirikan berurutan tanggal, lebih ke depan berarti lebih terbaru. Sang pemilik sangat sistematis rupanya.
Dalam kekaguman, Sharon berjalan sambil membelai ujung kain setiap gaun yang ia lewati dari ujung beranda. Mulai dari kain krep dan sutra menyihirnya, membuatnya mengabaikan Harvleon yang berjalan pelan di sampingnya.
Bagus. Lagi pula, kalau menuruti rasa bosan dan tidak peduli, Harvleon lebih memilih meninggalkan gadis itu sekarang juga.
Seorang wanita paruh baya datang menyambut ketika mereka sampai di tengah ruangan. Badannya kurus tinggi dalam balutan blazer abu-abu di atas blus biru tua. "Mr. Alvonsio," sapanya sebelum wanita itu persis berhenti di hadapan para pelanggan. "Senang bertemu Anda."
"Terima kasih, Nyonya Calan," balas Harvleon. "Sudah kujelaskan maksud kedatanganku melalui e-mail kemarin. Aku harap kau bisa mengaturnya."
"Tentu saja." Wanita itu menampilkan senyuman yang entah mengapa Sharon anggap cukup dingin. Dagu sang nyonya terangkat dengan tegas, membuat hidungnya terlihat ningrat. Sharon yakin bahu wanita itu cukup tegap tanpa perlu kesan yang diciptakan karena blazer yang dipakainya.
Belum selesai dengan keingintahuannya tentang sang nyonya, Sharon lebih bingung dengan Harvleon. Pria itu tak mengatakan apa pun tentang rencananya sebelumnya. Justru wanita setengah angkuh itu yang tahu lebih banyak.
"Ini Sharon," Harvleon mengenalkan. "Sharon, ini Mrs. Calan, pemilik butik ini."
Mrs. Calan berpaling padanya. Sharon lebih dulu khawatir dirinya akan mendapati wanita itu menelusurinya dengan pandang menilai yang lebih dingin sebelum Mrs. Calan benar-benar melakukannya. Sang nyonya nyaris melakukannya dengan sikap mencela. Tanpa bisa dicegah, Sharon dilingkupi perasaan cemas.
Kedua wanita itu bersalaman-dengan pandangan Harvleon yang dapat Sharon rasakan sangat lekat pada Mrs. Calan. Tiba-tiba Mrs. Calan memuji kecantikan Sharon, membuatnya agak terkejut dengan keramahannya. Sharon lebih tidak nyaman dengan anggapan wanita itu sudi melakukannya hanya karena kepantasan.
Ya Tuhan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Wanita asli Perancis itu membawa pelanggannya masuk lebih dalam. Di ruang kedua itu terdapat lebih banyak koleksi gaun dan pakaian modis lainnya. Didukung dengan penataan ruangan yang sangat diniatkan untuk memanjakan indra. Banyak lukisan menghiasai dinding, sangat menarik, apalagi desain klasik di langit-langitnya. Kesannya seperti memasuki museum gaun alih-alih butik. Terlepas dengan sikap aneh yang diterima Sharon dari sang pemilik butik, Sharon mengangumi siapa pun yang sudah membuat tempat ini sedemikian rupa.
Setengah jam kemudian, Sharon mengamati Mrs. Calan menuliskan sesuatu di buku catatannya, sementara dua orang asisten, yang patuh memanggil sang Nyonya dengan sebutan Madam, sibuk mengukur tubuh Sharon.
Dan Harvleon mendapati dirinya tenang-tenang saja, bahkan nyaman. Laki-laki itu duduk di sofa beludru persis di belakang Sharon, menunggu kegiatan para wanita selesai. Menelaah Sharon dari ujung ke ujung. Dia hanya terlalu egois, atau bodoh, untuk menyadari kalau gadis itu ternyata begitu memikat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomanceHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...