Percayalah, poin terbaik tersebar mulai bab ini:)
***
"Kyaaa!"
Tentu jeritan itu sampai di ruang kerja Harvleon, menjadikannya lebih waspada daripada prajurit garda. Persetan pekerjaan—ia mengambil langkah cepat menuju suara itu. Louisa, yang sudah cukup lama ini tinggal bersama mereka, juga menyerukan gonggongannya.
"Sharon?!"
Percayalah, pintu kamar itu akan remuk jika saja terkunci, minimal Harvleon mematahkan gagangnya.
Panik yang dirasakannya bertambah dengan heran begitu melihat sesosok pria sedang duduk di tempat tidur Sharon—yang dengan santai tersenyum manis.
"Sialan!" maki Harvleon. "Apa-apaan yang kaulakukan di sini?!"
"Aku suka sekali mengendap-endap," memindahkan lengan ke atas pangkuan, Alessandro menjawab dengan nada santai yang menjengkelkan.
Harvleon ingin meninju wajah yang menyeringai itu. Ia memindai ruangan. "Kau gila, Al! Di mana Sharon?"
Alessandro menunjuk sebuah pintu dan berkata ringan, "Coba jelaskan mengapa dia kelihatan ketakutan begitu?"
"Sharon!" Kaki Harvleon mengantarnya ke pintu putih itu. "Sharon, kau di sana?" Menahan umpatan, Harvleon berbalik. "Lihat," ujarnya pada Alessandro, "apa yang sudah kaulakukan!"
Kemudian hanya bisa menahan dorongan kejengkelannya untuk meninju Alessandro dengan berdecak, ia mengetuk pintu. "Sharon," teriaknya lagi, "dia bukan seperti yang kaubayangkan. Dia"—Harvleon nyaris tidak sudi mengatakannya—"dia temanku, Alessandro."
Apa? Berteman dengan pembunuh?
Wanita itu hanya mengenal Alessandro sebagai penembak yang menewaskan Alan di insiden penculikannya. Walaupun Alan adalah berengsek, tapi pria itu, yang menembaknya, melakukannya dengan terlalu brutal bagi Sharon.
Dan Harvleon mengaku dengan jelas bahwa dia sahabatnya. Pembunuh. Harvleon juga telah menunjukkan pada Sharon betapa banyak koleksi senjata yang ia simpan. Yang lebih buruk, selama ini ia mengetahui cara Harvleon mempersoalkan keamanan; tentang musuh yang sewaktu-waktu muncul. Namun, hal apa yang menciptakan ancaman mengerikan itu, Sharon sama sekali tak tahu. Apakah Harvleon juga berurusan dengan kriminal? Apa ia sendiri bisa berubah menjadi begitu kejam?
Ya Tuhan! Sharon tak tahu iblis macam apa yang mengelilinginya akhir-akhir ini.
Sharon menggeledah ruang ganti dengan matanya. Masih panik. Ia menemukan sebuah pistol yang sengaja disembunyikan Harvleon di sana untuk jaga-jaga.
Ia tidak ingin menembak siapa pun. Ia ingin... setidaknya kabur.
Harvleon masih berteriak-teriak di luar sana. "Sharon, kumohon keluarlah! Akan kujelaskan."
Harvleon mendengar kunci berderik, lalu Sharon muncul, sambil—astaga, apa yang gadis itu lakukan?!—menodongkan pistol ke arah kedua pria itu bergantian.
"Menjauh!" Suaranya yang bergetar sempat terhenti akibat kebingungan. "Kalian pembunuh!"
Harvleon spontan menjaga jarak. Ia melirik Alessandro yang justru menyeringai dengan bangga dan santainya. Tak ada herannya bagi Harvleon mengira pria itu sinting.
Dia menoleh lagi ke Sharon. Namun, ia perlu berusaha untuk tidak tertawa setelah menyadari sesuatu. Sekarang ia tahu sirat makna dari seringai sahabatnya. Tapi alih-alih menuruti keinginan merebut pistol dan menembak Alessandro karena jengkel, ia justru memutuskan untuk melanjutkan permainan—yang secara tidak langsung dilakukan olehnya dan Alessandro.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
РомантикаHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...