November
Para penjaga mengatakan kepada Sharon bahwa Mr. Alvonsio sedang menunggunya di bandara. Penerbangan dengan pesawat pribadi untuk perjalanan bisnis. Berani taruhan, sebentar lagi Sharon akan memainkan diri sebagai istri yang manis di samping pria yang memperlakukannya hanya seperti perhiasan.
Jubah krem keluaran Chanel yang dikenakan Sharon berkibar mengikutinya ketika ia berjalan mendekati Harvleon, yang sedang merokok seolah dunia baik-baik saja. Sepertinya pria itu tak pernah berniat untuk berhenti membuat Sharon jengkel setengah mati.
"Kau berengsek!"
Umpatan itu justru disambut ciuman, yang nyaris panas, di pipi gadis itu. "Selamat sore, Sugar."
"Pria terkutuk! Aku sungguh harus menjebloskanmu ke penjara." Sharon menampar lengan kurang ajar yang melingkar di pinggangnya. "Aku sedang membaca bagian terpenting The Calculating Stars* saat anak buah sialanmu menyeretku ke bandara!"
Harvleon malah terus tersenyum, melirik kedua anak buahnya yang menjemput Sharon. "Setidaknya aku masih memberimu sejam untuk berkemas, kan? Dan aku menunggu di sini selama itu pula. Kita impas."
Muka wanita itu memerah, sedangkan pria menjulang tinggi di depannya asyik menghirup udara yang melewati sela-sela cacahan tembakau. Belum genap satu menit saja, Sharon sudah 3 kali mengumpat karena pria itu.
Menahan batuk, Sharon merampas rokok Harvleon dan membuangnya. "And I loathe cigarette!"
Bersungut-sungut, ia menyingkir dari laki-laki itu dan segera mengambil posisi di dalam pesawat.
Harvleon menghela nafas. "Buatkan dua cangkir chamomile!" katanya pada gadis pramugari.
Ia menaiki jet pribadinya disusul pramugari itu, Alexie, dan 2 penjaga. Di dalam kabin, dia bisa lihat Sharon duduk bersedekap menatap ke luar jendela. Wanita itu rupanya memakai blus merah muda di balik coat-nya yang sekarang dilepas. Memang sialan bagi Harvleon karena istrinya terlihat begitu manis dengan warna pink. Dan pastinya menggemaskan saat wajah itu cemberut. Membuatnya lebih tergoda untuk mengusilinya.
Sharon semakin mendekatkan wajahnya di kaca 3 lapis itu. Memperketat pelukan di tubuhnya begitu Harvleon duduk di sebelahnya. Seakan lelaki itu sangatlah nista sehingga ia perlu menjaga jarak dengannya.
10 menit berlalu, merpati baja itu sudah bergabung dengan langit senja. Setidaknya keindahan jingga langit sedikit meredakan kejengkelan Sharon. Sementara pemandangan itu menenangkan, seisi pesawat seakan bersekongkol untuk membisu begitu saja.
"Aku tidak akan minta maaf," mendadak Harvleon berkata.
Sharon menoleh, menatap bibir Harvleon dan matanya bergantian. Lalu mendengus dan kembali memasang pandang ke arah sebelumnya.
"Memangnya kenapa kalau aku merokok, hah?" imbuh pria itu. "Mengkhawatirkan kesehatanku?"
Sharon tak berhasil menahan diri untuk tidak mendengus. Sialan, batinnya, dia lebih sok daripada penghuni Hollywood.
Harvleon mendekat, berbisik padanya, "Atau punya rencana menciumku?"
Persis ketika gadis itu ingin menggeram, teh ekstra chamomile pesanan Harvleon tiba.
"Makasih," ucap Harvleon simpul. "Panggilkan Alexie untuk membawakan pekerjaanku!"
Pramugari itu membungkuk singkat dan lekas permisi.
Secangkir kamomil sebenarnya memang yang paling dibutuhkan Sharon saat ini. Ia juga berharap sepotong kue red velvet atau barangkali pai berry, seperti hidangan di pesawat biasanya ketika ia diajak Harvleon ke luar kota. Sering terjadi beberapa bulan terakhir. Perjalanan terbaik adalah saat mereka ke Milan, walau berakhir dengan yang terburuk pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomanceHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...