04. Harapan Akhir Maret

379 101 30
                                    

Rumah Chateau de la Roche, Alpine, Bergen County, New Jersey

Pagar kokoh memisahkan pekarangan terawat dengan lingkungan sejuk yang dilingkupi aroma musim semi menenangkan. Berujung pada gerbang menjulang tinggi yang mengantar mobil Audi yang dikemudikan dengan baik oleh Alexie ke tempat tinggal sang pemilik. Sentuhan pastel yang lembut kontras dengan taman dan ladang kaya warna--yang luar biasanya menambah keindahan--membelai langsung ke kepuasan indra. Titik pusat dari semua itu adalah sosok megah, dan berhasil memberi kesan aristokrat, bangunan bergaya kastil Perancis yang hampir bisa menghipnotis.

Sembari mengaguminya, Sharon berharap menemukan sesuatu di ingatannya melalui ke-Eropa-an gedung itu. Dari aksen Inggris sedikit Perancis-nya, ada sebuah keyakinan ia berasal dari benua Barat. Namun, meski secara spontan mengenali bahwa rumah keluarga Alvonsio memiliki karakteristik Eropa, ia tidak terpengaruh. Tidak ada cuplikan memori yang diingatnya.

Alexie, sang asisten-merangkap-delegator-merangkap-pria-serbabisa, mematikan mesin mobil. Sudah ada dua orang pria membukakan pintu untuk Sharon dan Harvleon.

Di sebuah kamar rumah itu, setelah dipersilahkan masuk, seorang pelayan berkata riang dan bangga, "Nyonya, Harvleon sudah tiba."

Felicity Alvonsio baru saja melukis bibirnya dengan lipstick. "Aku akan segera turun."

Pelayan itu membungkuk singkat lalu permisi.

Senyuman tersungging mantap di bibir merah wanita itu. Penuh antusias ingin bertemu dengan calon menantunya. Sebenarnya, ia tak begitu serius memaksa Harvleon mencari gadis lain. Waktu yang nyaris mustahil untuk memutuskan menikah dengan pengantin lain hanyalah supaya Harvleon menyerah. Belle Morgan masih ia anggap sebagai menantu idaman. Namun, semenjak melihat foto Sharon, bahkan mendengar tentang gadis itu dari Alexie yang ia paksa bercerita beberapa hari lalu, Belle tersapu habis dari benaknya.

Felicity menuruni tangga dengan langkah lebih cepat dari biasanya. Kalau tidak memakai sepatu berhak, bisa-bisa ia langsung lompat dari lantai dua.

"Mère," sapa Harvleon dalam bahasa Perancis.

"Oh, my baby," seru Felicity. "Kau pergi terlalu jauh, mengapa lama sekali tidak kemari, hah?"

Kedua anak-ibu itu saling memeluk. "Astaga, Mom. Tolong berhentilah memanggilku seperti itu." Harvleon melirik Sharon yang baru saja mengganti ekspresi mengernyit dengan seringai.

"Tidak," sahut Felicity cepat sambil mencubit pipi Harvleon, "sampai kau memiliki bayimu sendiri."

Harvleon merasa ibunya keterlaluan. Bagaimana bisa ia dipermalukan sedemikian rupa, di depan Sharon pula?

Harvleon memandangi ibunya dengan kekesalan anak kecil. "Pop* membuat Mom lebih Italia daripada Perancis."

Felicity berpaling ke Sharon. "Oh, maafkan aku. Sepertinya kita berlebihan hingga melupakan si Manis ini. Harv, apa kau tak mau mengenalkanku dengan gadismu?"

Sharon tersenyum simpul yang sering diistilahkan sebagai senyum Mona Lisa.

"Oke. Mom, ini Sharon. Sharon, ini ibuku," ujar Harvleon lugas.

"Senang bertemu denganmu, Nyonya Alvonsio." Sharon menjabat tangan wanita itu dengan keramahan yang sepantasnya. Tapi Felicity menariknya ke pelukan, dan Sharon berusaha keras untuk tidak berjengit.

"Panggil aku Felicity, Sayang," balasnya penuh keramahan sambil melepas pelukan. "Kau lebih cantik dari di foto yang putraku tunjukkan."

Sharon tersipu. "Terima kasih, Felicity."

"Nah, begitu lebih akrab. Kalau begitu ayo, ruang makan sudah siap!" Felicity berjalan lebih dulu.

Harvleon melihat Sharon yang meliriknya, kemudian mendekat dan mendekap bahu gadis itu dengan lengan kanannya.

Memories and Salvation ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang