19. Insiden

229 70 8
                                    

Suasana aslinya (di dekat hotel Atlantic Kempinski) bukan begini. Saya hanya mencoba membuatnya sesuai imajinasi saya. Agar drama lebih terasa, begitu pikir saya.

***

Di Hamburg, matahari musim gugur mulai memudar. Harvleon mengajaknya ke area wisata danau Alster dekat hotel yang mereka sewa—hotel yang sama saat kali pertama mereka datang. Ini mungkin aneh, tapi Sharon pikir seperti dia tidak asing dengan bangunan di sekitar danau itu. Apa mungkin hanya deja vu?

Keinginan untuk merokok mengganggu Harvleon. Ia resah memikirkan keberanian sinting Belle Morgan kemarin malam, kesulitan yang ia dapat setelah jauh-jauh ke Jerman, dan cara memberitahukan itu pada Sharon. Sekarang ini sulit untuk bertindak. Belle akan semakin nekat jika Sharon masih menjadi istrinya—sama seperti yang ia lakukan pada gadis-gadis Harvleon sebelumnya—tapi mengungkap semuanya merupakan penggalian lubang yang lain. Sharon itu keras kepala—atau setidaknya pada Harvleon saja—dan terkesan agak ceroboh, kesemuanya menjadi alasan kuat untuk mencegah gadis itu... sendirian.

Belle telah membuktikan dirinya. Walaupun Sharon sudah tak ada hubungannya lagi dengan Harvleon, sangat mungkin ia masih bisa membahayakan Sharon lagi. Harvleon mengetahui banyak kebenaran tentang Belle tahun ini. Semuanya muncul beberapa hari sebelum mereka tunangan—dan ia mesti berlutut menawarkan cincin pada jalang itu karena ibunya!

Alexie, lagi-lagi yang diutus bertindak, menghubungi pengorek debu paling setia untuk mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Belle dan bahkan ayahnya. Paling tidak, Harvleon mulai nyaris yakin ia akan berhasil mengungkap mereka secara hukum. Kalau tidak, ia akan memilih menguliti mereka secara harfiah saja.

Harvleon memandangi hamparan air danau yang terlihat seperti cocktail dalam wadah raksasa. Sebentar-bentar menoleh ke Sharon dan nyaris selalu mendapati wanita itu sedang mengitarkan pandangannya, atau terkadang melamun. Lalu ia menatap ke danau, kemudian menoleh lagi ke Sharon. Ia tahu kalau wanita itu sedang berpikir keras. Mengenai kota ini, Harvleon masih menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan kebenarannya pada wanita itu.

"Harusnya kita ke sini sejak lama," kata Harvleon.

"Tidak, kalau bisa," timpalnya seperti biasa, sengaja setengah mengomel. "Terlantar di perpustakaan jauh lebih baik daripada ikut perjalanan kerjamu."

Harvleon terlalu jarang duduk berpangku tangan; mencintai pekerjaan—sangat terlalu. Sharon nyaris tak pernah masih terjaga dan menemuinya pulang. Ia terkadang merasa pria itu memperlakukannya seperti... teman Louisa?!

Sharon menoleh ke Harvleon, membalas tatapan mata cokelat kemerahan itu. "Itu pun kalau ini bisa disebut perjalanan kerja. Baiklah, katakan... bisnis apa kali ini?"

Setelah wanita itu sedikit menelengkan kepala, menumpu dagunya dengan tangan, terlihat menanti, Harvleon tersenyum simpul dan menjawab, "Tidak. Atau entahlah. Aku hanya melakukan pengamatan pada potensi-potensi. Mencari relasi menguntungkan, seperti di pameran mode kemarin. Dan mengajak serta Nyonya Alvonsio-ku." Nada bicaranya yang sok itu kembali lagi, membuat Sharon membalasnya dengan tatapan sinis. "Kalau kau berubah pikiran, mudah saja. Sudah kubilang."

Wanita itu mendengus pelan. "Ya." Ia mengangkat dagunya yang terkesan ningrat, lalu bersandar lagi. "Akan kupikirkan, Harvleon sayang."

Sharon tak bersungguh-sungguh bersikap tidak peduli dan bahkan membenci liburannya, sebenarnya sekarang jauh menyenangkan. Mereka berdua duduk di kursi besi yang disediakan untuk para wisatawan. Sekelompok quintet musik khas Jerman sedang menghibur, sekaligus bekerja, di tempat itu. Harvleon punya inisiatif untuk mengajak Sharon berdansa.

Memories and Salvation ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang