Esok harinya, Arabella terbangun di kasur warna keemasan--yang diyakininya telah menguning karena umur--di salah satu kamar pengap kastil nenek Otto. Tapi itu, mungkin saja, termasuk ranjang berpegas tertua. Dengan corak aristokrat Italia yang rumit, menegaskan kebangsawanan sang pemiliknya dulu. Yang benar saja, apakah sekarang terlihat seperti waktu untuk memikirkan sejarah?
Sumpah, Arabella mengeluh dalam batin, ini baunya apak sekali!
Kemudian dia sadar--tentang apa yang telah diperbuatnya di sana semalam. Sama sekali kejam jika harus menyalahkan ranjang itu. Bahkan seharusnya dia berterima kasih.
Arabella mengerang pelan, menggeliat kucing, mengucek matanya yang bersensasi aneh karena tidur, lalu berusaha meyakinkan seluruh tubuhnya untuk mau bangkit. Rasanya nyaris masih kebas, dan itu membuatnya tersenyum.
Suara paginya cukup untuk membuat setidaknya satu pria beranggapan itu seksi. "Tommy?" gumamnya ketika menoleh pada sisi ranjang yang lain. Tangannya menyentuh permukaan ranjang. Dingin. Kosong. Dan bangkitlah dia.
***
"Nah," Otto berseru di kursi utama meja makan, jelas sekali mengumumkan kehadiran Arabella, sama kerasnya dengan ketukan sepatu wanita itu. Arabella masih memakai gaun yang sama dengan semalam karena pakaian gantinya ada di hotel. Rambutnya dipilin ke belakang dengan asal. "Itu dia."
Arabella memelototinya. Lalu melihat Thomas, yang menyeringai padanya, lalu Tony Fuchser, dengan raut muka kentara sekali bertanya-tanya. Frederigo Amigoreno (yang pada suatu saat nanti menjadi consigliere Otto) juga tumben bergabung, membuatnya sedikit terkejut bahwa pria itu ternyata bisa makan--belum pernah sekalipun Arabella melihatnya makan. Pria itu mengangguk santun untuk membalas tatapan wanita itu.
Arabella memilih tak acuh dan langsung duduk tanpa enggan di kursi yang kosong, bersebelahan dengan Tony, berseberangan dengan Fred.
"Benar kau kakakku?" Tony bertanya pelan. Tapi kesannya seolah dia tidak rela kalau harus bersaudara dengan Arabella.
Arabella mengernyit. "Satu-satunya yang mau aku dengar adalah," katanya dengan nada seperti biasa, setengah membentak setengah menggerutu, "pembatalan pernikahan kalian."
Bersamaan percakapan itu, Otto melambai tangan memberi aba-aba pada pelayan yang langsung ditanggapi. Tuscan ribollita, pizza omlet dengan keju parmesan, dan bruschetta. Italia sekali.
"Oh, ayolah, Arabelle."
Arabella mengulurkan tangan mengambil selembar roti gandum. "Arabella," dia mengoreksi dengan ketus.
"Baik," Tony mengalah, tapi diikuti decakan kesal. "Jadi benar?"
Arabella berhasil tidak memutar bola mata. "Jika kau dari San Francisco, maka iya."
Tony terdiam sejenak. "Mengapa selama ini aku tidak tahu?"
Arabella mendesah. "Cerita yang panjang." Ia menatap dinding batu, seakan sedang menerawang masa lalu, lalu menatap Tony. "Kita hanya pernah bersama selama tak lebih dari dua pekan. Oh, astaga, kita membicarakan ini di meja makan?"
"Mengapa kau tidak mencariku?" Pertanyaan itu bernada menggerutu, serta-merta membuat Arabella kesal. Dia ingat sekali insiden itu. Musim panas paling kejam dalam hidupnya.
"Aku berusaha mati-matian selama ini." Arabella memicingkan mata tanda jengkel. "Kau tidak akan tahu apa yang dilakukan gadis 7 tahun pada malam itu."
Tony menghela nafas panjang, mencoba memahami penderitaan Arabella dalam renungan. Dia bahkan tidak pernah tahu jika masih punya kerabat. Ibunya, menurut cerita ketua panti asuhan, menitipkannya saat dia masih bayi. Lalu dia tidak mendengar apa pun tentang keluarganya sampai dia bertemu Otto.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomansaHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...