Klik
Klik!
"Berhenti mencoba menyakiti dirimu sendiri, Sharon."
Kalimat penuh penekanan--juga sirat nelangsa--barusan cukup membuatnya terlonjak. Bukan itu saja, ia sedikit kecewa saat setiap kali dia berusaha kabur dari dunia yang kejam itu, usahanya selalu gagal. Sharon merasakan New York tertawa, bangga sudah berhasil membuatnya tetap berada di bawah langitnya yang penuh misteri itu. Apakah takdir belum puas mempermainkannya? Seegois itukah?
Sebuah tangan mengambil pistol dari tangan Sharon. Menyimpannya kembali di laci meja makan itu. Harvleon bisa melihat binar dalam mata beriris hijau itu semakin redup. Segala kepelikan nasib yang tergeletak di dalam tubuh lemah itu cukup besar. Apa ini adil untuk gadis yang baru saja berusia 27?
"Apa yang kaulakukan?" Harvleon mengangkat tubuh Sharon untuk duduk di kursi. Ia bisa merasakan berat gadis itu lebih ringan dari sekian lama. Ia lalu berjalan untuk mengambil segelas air.
"Hanya tidak bisa tidur," balasnya. Setidaknya jawaban itu punya sedikit kebenaran. Sharon memang tidak bisa melanjutkan tidur setelah mimpinya tadi. Bahkan setiap kali terbangun, ia berharap bahwa ia telah mati.
Harvleon menghembuskan nafas panjang saat dirinya duduk menghadap Sharon. Memberinya minum dan, dengan nada imperatif yang mutlak, membuat Sharon menghabiskan isinya.
Apartemen Harvleon berada di pertemuan 50th Street Barat dan 8th Avenue. Terlihat hijau taman utama di timur, seperti oasis di tengah kesibukan kota. Tanpa berkata sepatah pun, Harvleon menuntunnya berjalan mendekati sayap selatan apartemen itu. Dinding kaca menyuguhkan lanskap Manhattan yang barangkali lebih indah di kala malam begini.
"Kota yang indah, bukan?" Harvleon memulai. Sebenarnya dia sedang memikirkan sesuatu untuk membuat suasana saat ini romantis. Ia mengernyit getir, sedikit menyesal mengapa dulu ia tak pernah belajar menjadi tipe pria seperti itu. Padahal mudah saja, ayahnya adalah womanizer yang berbakat.
Sharon bergeming, mengamati lampu-lampu yang nampak seperti taman bintang. Ia bisa merasakan tangan hangat Harvleon tetap menggenggamnya. Jika segala macam kepahitan mampu ditepis, niscaya malam ini nyaris sempurna.
Harvleon membalik tubuh Sharon, menatapnya tepat di mata hijau itu, yang walau sayu tapi tetap menenangkan. "Dan kau pantas untuk semua ini."
"Aku sudah mengacaukannya, Harv."
"Kalau begitu, mari kita perbaiki."
Sharon tercenung. Berpikir semua keindahan sosok di depannya itu berbanding terbalik dengan dirinya. Ia masih berpikir tentang betapa buruk dirinya di masa lalu, bahkan sekarang. Pikiran itulah yang akhirnya membuatnya malu. Ia ingin menunduk, tapi otaknya memerintah segala saraf gerak untuk memaksanya memaku dan tetap menatap Harvleon. Sharon tak bisa munafik untuk menampik semua pesona pria itu. Ia bahkan begitu mengaguminya.
"Tak peduli namamu Charlotte atau Sharon." Harvleon menangkup wajah wanita itu, membelainya penuh kasih. "Kau adalah kau, Mrs. Alvonsio."
Dan beginilah, Mr. Alvonsio mencium Mrs. Alvonsio. Ciuman yang sulit diartikan, tulus tapi juga ada sepercik nafsu. Lembut seperti setelah pengakuan 'I do'. Tapi tetap saja, ini berarti pria itu sudah menandai Sharon sebagai miliknya.
Harvleon menarik Sharon dalam pelukannya. Menyentuhnya dengan cinta. Membelainya dengan lembutnya kesabaran menanti balasan wanita itu. Tetap berciuman. Hanya beberapa senggat untuk bernafas. Semuanya begitu rapi juga memabukkan. Keduanya tak bisa berpikir jernih dalam sekejab.
Hingga Harvleon merasakan tautan tangan yang melingkari lehernya merenggang. Tubuh Sharon juga lunglai dan akhirnya gadis itu tak punya tenaga lagi. Harvleon melepas ciumannya. Menyangga tubuh Sharon yang sudah lemas tertidur. Efek dari obat bius yang dimasukkan Harvleon dalam air minum tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomansaHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...