I just wanna apologize. Just sorry:/
***
New York
November 29Semburat jingga senja dilukis merona oleh Tuhan di kanvas jagat New York. Di balkon teratas itu, seorang wanita menatap lurus ke arah barat. Menghitung hingga matahari benar-benar tenggelam. Mengagumi bagaimana matahari menyerahkan langit pada putri bulan yang kedatangannya dikawal bintang-bintang.
Ia sudah cukup lama termenung di sana, di atas kursi malas yang ia duduki. Cukup lama hingga mampu membuat—barangkali ada—orang yang melihatnya akan mengatakan bahwa wanita itu gila.
Sakit kepala kembali menyerang. Ia meremas kepalanya, berharap dentuman gila di dalamnya mereda. Rasa sakit itu lebih sering datang sejak 3 jam yang lalu daripada sebelumnya. Ia menghirup nafas dalam sampai nyeri yang ia rasakan berangsur-angsur menyusut.
Ia mendongak lagi ke sisa jingga di ujung barat. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Lalu matanya menangkap hamparan air kolam yang bergelombang oleh angin. Kemilauan matahari berpendar di permukaannya. Dia berpikir sejenak dan memutuskan untuk melangkahkan kaki menuju tepian kolam.
Mungkin aku akan mengikuti matahari?
Dia takut? Tentu saja sangat. Ketakutan itulah yang membuatnya berdiri di sana seperti orang dungu. Kakinya lunglai bagai jeli. Tapi ia mencoba melakukan konsolidasi pada hati dan niatnya. Bersama matahari itu, ia memutuskan untuk ikut. Ini lebih baik, demikian pikirnya.
Sekejab saja, ia sudah menceburkan diri ke kolam. Silahkan katakan kalau wanita itu sinting, pasalnya dia melakukan inspirasi zat cair melalui hidungnya. Menghirupnya dalam-dalam seakan air adalah udara. Langsung saja ia terbatuk, masih di dalam air, dan tak lama kesadarannya hilang.
Sudah, ritual bunuh diri itu sudah terjadi. Cepat dan begitu saja.
Byur!
Seseorang kembali menceburkan diri dalam kolam yang sama. Ia tidak cukup bodoh untuk ikut mengakhiri hidupnya seperti wanita itu. Yang ia lakukan adalah menarik wanita itu kembali ke tepian.
Dia sudah sedari tadi mengamati wanita itu—sejak ia melihatnya berdiri linglung di tepian kolam. Awalnya ia tidak begitu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi, bahkan dia tersenyum, menyukai setiap kali melihatnya. Juga saat wanita itu menceburkan diri, dia hanya menganggapnya bukan masalah. Tapi menaruh curiga saat kepalanya tak kunjung menyumbul ke permukaan. Dan berikutnya, malah punggung yang muncul di permukaan tengah kolam.
"Sharon!" Kepalang kabut dia membangunkan wanita itu. Harvleon dihantam perasaan rentan yang lebih ngilu daripada tusukan pedang es.
Ia melakukan CPR untuk mencoba mengeluarkan air di paru-parunya. Berulang kali dan syukurlah usahanya berhasil.
Sharon terbatuk dan air menyembur melalui hidung dan mulutnya. Dia bernafas lagi. Matanya yang sayu mulai terbuka. Air kolam sudah sukses besar menyamarkan sisa air mata di sana.
"Oh, ya Tuhan!" Harvleon lantas memeluk wanitanya, nyaris menangis. Dia memang marah karena Sharon kembali mencoba menyakiti diri sendiri, tapi rasa leganya karena wanita itu selamat jauh lebih besar. "Sharon," katanya penuh perasaan.
Harvleon melonggarkan pelukannya untuk melihat wajah Sharon yang pucat, yang memberikan siksaan luar biasa. Ada seulas senyum di bibir wanita itu, dan dia berkata lirih, hampir dengan nada bergurau, "Kau tak seharusnya..."
Pingsan sudah lebih dulu menghentikan kalimat Sharon. Harvleon mengguncang tubuhnya lagi seraya memangil-manggil, tapi tidak terbangun. Wajahnya yang pucat memunculkan paranoid. Menyelamatkan nyawa Sharon adalah ambisi terbesarnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomanceHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...