Ruas jalan East Mosser sontak membuat Harvleon bertanya-tanya dalam hati saat Arabella menghentikan mobil di salah satu halaman parkir. Tampaklah sebuah gedung bertingkat 5 lantai bercat cokelat yang kontras dengan salju, yang langsung saja Harvleon simpulkan sudah tidak dicat ulang lebih dari 2 tahun.
Arabella masih sama seperti tadi, hanya melapisi blus navy-nya dengan jaket kulit hitam yang terlihat sedikit nyentrik, tanpa tambahan jaket tebal. Harvleon ikut turun mengikuti gadis itu. Kemudian, keduanya memasuki lobi apartemen yang hanya selebar 3×4 meter. Nyaris bukan lobi karena pemilik apartemen tidak lagi peduli akan tempat itu. Keluarga pemilik apartemen tinggal di rumah Amerika yang nyaman di samping gedung.
"Aku tidak ingin mendengar keluhan," ucap Arabella, "atas ketidaktersediaannya lift di sini." Perkataan itu seperti sebuah sambutan saat mereka menghadap tangga berkelok. Arabella melepas jaketnya sambil mulai memijaki anak tangga dengan cepat. "Aku saja bersedia melakukan ini hanya untuk tidur. Kau tak cukup lelah, bukan?"
"Kedengarannya, kau baru saja menganggap aku sebagai wanita hamil tua yang begitu membutuhkan lift." Harvleon kemudian menyadari sesuatu. "Tunggu, tidur? Kau tinggal di sini?"
Arabella mendadak berhenti dan berbalik, bahkan hampir menabrak Harvleon. "Yap!" serunya sambil memiringkan kepala. "Tidur di kamar flat-ku. Dan aku mengajak seorang Alvonsio datang kemari. Kau tahu artinya?"
Pada kali ini, karena tingkat anak tangga dan sepatu heels boots Arabella, Harvleon mendongak untuk menatapnya. Mereka akan sejajar tanpa sepatu Arabella. "Ari," kata Harvleon monoton, "kau tidak bermaksud—"
"Aku sudah dari tadi menggodamu, Tuan," celetuk Arabella cepat. "Tidakkah aku?"
Harvleon berdecak dan bergerak untuk turun, berharap Arabella—yang kelihatan entah kenapa terus merayu—sadar dengan penolakannya.
"Oke." Gadis itu mencekal lengan Harvleon untuk mencegahnya. "Aku bercanda, Alvonsio. Aku masih menyimpan penjelasan, itulah alasanku mengajakmu kemari."
Arabella tidak melanjutkan usahanya meyakinkan Harvleon dan sudah kembali menaiki tangga begitu saja. Ia meyakini dengan kalimatnya barusan sudah cukup membuat pria itu urung untuk pergi.
Dan benar saja, walaupun setelah berdecak dan memutar bola mata, Harvleon ikut menyusulnya.
Mereka tiba di lantai 3, Arabella berhenti di depan pintu kayu ek yang tampak belum lama dipernis. Harvleon membuat gagasan kalau itu tempat yang disebut Arabella sebagai flat-nya. Aku merindukan apartemen lama, Harvleon membatin, barangkali ia akan mengunjungi tempat itu setelah ini untuk berdiam diri.
Gadis itu tampak berpikir sambil menatap pintu di depannya lalu menoleh ke Harvleon. Lalu kembali menatap pintu. Begitu cukup banyak terulang seperti ritual sinting suku pedalaman.
"Kau melupakan kuncimu?" Harvleon akhirnya memecah keheningan.
"Kau yakin ingin masuk?" tanya Arabella kembali centil. Kebingungannya sudah lenyap, seolah tidak pernah berarti. "Karena tiba-tiba aku yang ragu."
"Arabella."
"Aha!" ia berseru. "Kenapa kau justru terdengar menuntutku untuk memanggilmu dengan cara yang sama? Harvleon?" Pipinya berkedut-kedut, entah karena ingin tersenyum atau muntah.
Harvleon tidak berhasil menahan diri untuk memutar mata. "Oh, serius. Sebenarnya apa yang ingin kauceritakan?"
"Kau ini, tidak sabaran sekali, sih?"
Nada bicaranya membuat Harvleon mengernyit. "Sekali lagi kau berkata dengan nada itu, kau tidak perlu lagi menceritakan apa pun. Terima kasih." Ia akan pergi saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomanceHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...