Hati-hati dengan mesin waktu Doraemon, ehehe.....
***
Harvleon terbangun. Masih ada sisa pusing di kepalanya akibat—dia masih sempat ingat dengan jelas—pukulan keras kemarin malam. Well, ini begitu bagus untuk ukuran gadis. Arabella memang si Berandal.
Mengingat semalam, Harvleon langsung terkesiap. Ia cepat menoleh ke samping dan mendapati lagi sosok wanita pucat. Wanita yang sudah begitu sukses memengaruhi hidupnya. Ia memang pernah membawa warna di jiwa Harvleon. Dan (sempat) pergi begitu saja tanpa bisa tercegah, menyita semua yang ia berikan. Hingga pagi ini, pagi terbaik di kehidupan Harvleon, wanita itu datang layaknya akan segera mendatangkan kembali matahari musim semi yang dirindukan dalam kedinginan salju.
Harvleon menatapnya begitu nyalang dan lekat, sulit percaya kalau wanita itu kembali. Dia mengusap pelipis wanita itu melewati pipi sampai dagunya. Dia nyata.
Merasa terusik, sang wanita tersadar. Kelopaknya yang pucat terbuka, menampilkan warna matanya yang hijau. Keduanya saling terpaku, emerald dan russet yang saling rindu.
Wanita itu tak kalah terkejut, dia seakan tersengat dan tertarik pada posisi duduk. Sirat ketidakpercayaan terlukis di matanya. "Kau...," panggilnya serak.
Seolah ada tangan hantu yang menghimpit dadanya, nafas Harvleon tertahan lama.
"Katherine," suaranya juga bergetar. Dia ingat semalam Arabella berkata kalau wanita itu sudah mendapat ingatannya.
Wanita itu, Katherine, akhirnya menyadari. Meyakini kalau semua ini bukan lamunan ataupun mimpi belaka. Dia kemudian menggeleng pelan. Mempertahankan tangan Harvleon menangkup pipinya dan, nyaris menangis karena tertegun, menghirup aroma pria itu. "Harv," ujarnya lirih. Lalu mendeham untuk membersihkan tenggorokan. "Aku Sharon, namaku Sharon."
Sekalipun pria, Harvleon tetap saja terharu dengan peristiwa ini. Ia lantas menarik istrinya itu dalam dekapannya yang hangat. Begitu amat sangat luar biasa merindukannya.
"Oh, Sugar," katanya sambil mencium kening Sharon. Lalu ujung kanan-kiri dahinya, kedua kelopak matanya, hidungnya, pipinya, semua permukaan tanpa celah. Dan Harvleon mencium bibir Sharon begitu lama. Ciuman yang menuntut.
Harvleon tidak akan melepaskan wanita itu.
***
Beberapa saat sebelum kematian
Seorang gadis menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Langkahnya terhenti di samping sebuah pintu kamar pasien, Sharon Alvonsio. Matanya mengintip—dari balik kacamata hitamnya—melalu kaca dua inci pintu itu. Ia urung untuk masuk walau sudah tidak sabaran untuk masuk. Di dalam sana masih ada beberapa orang yang menjaga si pasien. Gadis itu memilih berjalan lurus dan bersembunyi untuk sementara.
Hingga ia yakin dua pria di ruangan tadi sudah keluar dan hanya tersisa seorang perawat, gadis itu memasuki kamar pasien. Perawat sedikit terkesiap dengan kedatangannya.
"Ssht!" ia mendesis keras, melarang perawat bersuara. "Aku tidak ingin basa-basi, aku mau kau membantuku."
"Maaf, Nona?" Perawat bergidik saat gadis itu mengeluarkan revolver. "Oh, ya, Tuhan."
Gadis itu kembali mengeluarkan selembar kertas dari saku coat-nya. Matanya berputar jengah di balik kacamata. "Aku punya izin," ia menjelaskan. "Dengar baik-baik, aku bukan gadis baik, tapi bukan berarti kalau aku gadis jahat. Mengerti?" Pertanyaan terakhir lebih terkesan paksaan untuk mengerti.
Di bawah todongan senjata api, perawat itu hanya bisa mengangguk. Si gadis misterius akhirnya membuka masker dan kacamata. Serta-merta langsung membuat perawat terkejut karena wajah gadis itu sama persis dengan pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories and Salvation ✓
RomansaHarvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuskannya menikah secepat mungkin. Belle Morgan, wanita licik yang bertahun-tahun mengincar pria itu, memanfaatkan situasi itu sehingga berhasil...