27 Ruin of the spirit

203 22 0
                                    

Udara kian lembab, gumpalan awan-aean tebal menggantung menutupi matahari.  Flyege siuman dari pingsan.  Ia terjaga karena tangisan Amarizc membahana bersama dengan gagak-gagak kecil yang keluar hutan pinus.  Ksatria yang dicabut gelarnya dari Adthera itu segera bangkit.  Ia mengejar sumber suara Amarizc di tepi telaga.  Ketika Flyege keluar dari hutan, tepat di hadapannya, Nixria dengan tiga anak panah di punggungnya terjerembab jatuh ke tanah.

Flyege sulit mempercayai, ia panik dan berlari kencang menghampiri tubuh lemah Nixria.  Terlihat, dada wanita itu masih terengah turun naik.  Masih ada tarikan napas walau terlihat sangat lemah.  Flyege mengangkat tubuh Nixria dengan hati-hati.  Peluh dan air mata Flyege bercampur bersama tanah dan debu yang menempel di pipinya.

"Nhaxa, bertahanlah" Flyege berbisik dengan suara yang bergetar.
"Guaryl, kau Flyege?" Nixria bertanya lemah.  Air matanya pun mengalir.
"Bertahanlah, Sayang.  Aku akan bersamamu.  Kita akan bersama Amarizc." Flyege tampak panik.  Ia mengangkat Nhaxa dalam pangkuannya.
"Flyege, aku mencintaimu seutuhnya.  K-Kau sebagai Guaryl ataupun sebagai Flyege."
"Nhaxa, kau ibu dari Amarizc.  Dengarlah, Sayang. Aku mencintaimu. Aku mencintai keluarga kita. Aku akan bersamamu."  Flyege tampak panik.  Ia melihat ke kanan dan ke kiri.

"Tongkat ayahku.  Dzo!"  Ia menoleh ke seberang telaga, dan tak lagi melihat Dzo.

Guaryl meletakkan Nixria yang lemah di tanah.  Ia berusaha menghentikan darah keluar dari punggung Nhaxa dan dada Nhaxa yang tertembus anak panah.  Flyege mengucapkan mantra-mantra. Namun, darah tak terhenti.  Flyege bersiap akan berdiri.  Ia ingin mencari Dzo untuk mendapatkan tongkay ayahnya.  Namun, Nhaxa menahannya.

"Flyege, hentikan.  Lihat anak panah ini.  Menembus tubuhku.  Ini sudah waktuku, Sayang." ucap Nhaxa lirih.
"Tidak, Nhaxa! Bertahanlah!". Flyege kembali merapalkan mantra-mantra untuk menghentikan darah yang mengalir.  Namun, sama sekali mantra-mantra itu tak berpengaruh untuk Nhaxa.  Tubuh ibu Amarizc itu mulai terbatuk.   Napasnya sedikit demi sedikit tercekat.  Namun, senyumnya mengembang.
"Flyege, benarkah kau mencintaiku?"

Flyege yang sebelumnya tampak panik, dan sibuk dengan mantra-mantranya, tiba-tiba berhenti manatap wajah Nhaxa, sangat lekat ke dalam matanya.  Ia mengusap air mata yang mengalir di dari sudut netra istrinya.  Air matanya sendiri pun ikut jatuh.

"Bertahanlah, sayang, ku mohon!" Flyege mengiba.  Nhaxa hanya tersenyum.  Diusapnya wajah Flyege dengan tangannya yang penuh darah. 

"Nhaxa, aku mencintaimu.  Aku mencintaimu, istriku."  Flyege mengecup kening Nhaxa usai kata cintanya.  Tangan Nhaxa yang menempel di pipi suaminya jatuh terhempas menyentuh tanah.  Tubuh Nhaxa mengejang sesaat, kemudian kepalanya terkulai dan matanya terpejam.

"Tidak ..., Nhaxa.  Tidak!"  Suara Flyege menyiratkan kepanikan dan kesedihan.

"Nhaxaaaa!" Ayah Amarizc itu berteriak.  Air mata bersimbah di wajahnya, berurai sejadi-jadinya.  Ia memeluk Nhaxa sangat erat. dan tanpa suara.

"Istriku ...!" Parau dan lemah bisikan Guaryl terucap di telinga Nhaxa.

Tubuh mereka berdua terguncang mengikuti hasrat kesedihan Flyege yang memeluk Nhaxa erat.

Dari kejauhan, Ravenska dalam tubuh yang penuh luka, memar dan sayap yang patah, menyaksikan betapa histerisnya Flyege akan kematian Nhaxa.  Ia melihat, betapa besar cinta sahabatnya itu pada istrinya. 

Tanpa sadar, Ravenska yang lemah dan mengambang di atas air, memejamkan mata.  Air matanya pun mengalir tanpa suara. Tubuhnya terasa makin lemah.  Ada sesak yang terasa begitu menghimpit dadanya, menarik semua harapan dan ketangguhan jiwanya, merenggut serpihan harapan yang tersimpan di hatinya yang paling dalam. 

Bersama empati, pada Flyege, ia pun merasa kehilangan.  Ia pasrah.  Ia biarkan air telaga menariknya dalam.  Menyembunyikan tubuhnya menyisakan riak dan gelombang yang merayap menuju tepi.   Gelembung-gelembung udara melewati wajahnya yang terbenam di dalam air.  Tatapan matanya kosong, mengucapkan selamat tinggal pada sisa-sisa matahari yang menembus air.

Tak ada lagi air matanya yang mengalir.  Semuanya telah berbaur dalam air telaga.    Ravenska tenggelam.  Sayapnya mengembang tak simetris karena sebelah telah patah.  Tubuhnya melayang, perlahan merayap turun menuju gelapnya dasar telaga, matanya terpejam.

...

Dihutan pinus, tiba-tiba keadaan menjadi sunyi.  Embusan angin tak lagi berderu.  Dzo baru menyadari ia kehilangan Ravenska.  Ratu gagak itu tak terlihat lagi mengambang di atas telaga.  Segera ia berdiri, mengambil tongkat, lalu bersiap di tepi telaga.  Mantra-mantra ia lafazkan.  Ia gagal.  Ia tak berhasil dengan mantra yang telah dipelajarinya bersama Flyege.  Mencoba sekali lagi, gagal lagi.  Air matanya telah turun dengan deras.  Dadanya seakan berteriak, ia tak ingin kehilangan Ravenska.  Sepenuh hati dan memejamkan mata, seraya menangis, ia melafazkan mantra untuk yang ketiga kalinya dengan jelas dan mantap.

Sekumpulan benang-benang kabut keluar dari ujung tongkatnya.  Ujung benang itu masuk ke dalam air.  Terus bergerak membentuk gelombang seperti pita yang sedang terulur dan terus terulur.

Tak lama kemudian Ravenska keluar dari Air.

Melihat sesuatu keluar dari Air adalah manusia gagak, Flyege baru tersadar dari ratapannya atas kepergian Nhaxa.  Ia bersiap akan menyebrangi telaga untuk menolong Dzo yang sedang mengangkat Ravenska dengan kemampuan tongkat sihir Father Gimra.  Namun, sesuatu yang bergoyang di balik semak-semak setinggi manusia di dekatnya menunda langkahnya. Suara ranting-ranting patah dan langkah-langkah berderap terdengar makin mendekat.  Tak lama kemudian hentakan suara kaki kuda terdengar jelas.  Muncul seorang dengan pakaian lengkap Ksatria Madhappa menunggang kuda coklat tua yang gagah.  Flyege mengenal seragam itu adalah pakaian perang jendral tertinggi di Kerajaan Madhappa.

"Jenderal Nixria, gugur?  Tiga penyihir?  Kau Adthera membunuh mereka?" ucapnya setengah berteriak geram.

Pria itu pun tampak mengenal pakaian yang dikenakan Flyege.  Pakaian pasukan elit Kerajaan Adthera.  Di dekat Flyege berdiri ia melihat jasad Nixria yang tak bernyawa tergeletak di tanah.  Di sisi telaga yang lain, ia pun melihat tiga penyihir tertelungkup di tanah.  Tak jauh dari situ, pimpinan pasukan itu pun melihat Dzo sedang mengangkat Ravenska dari dalam air. 

Mata pria di atas kuda itu membulat besar, wajahnya memerah.  Ia mengeluarkan instruksi untuk pasukan yang bersiap di belakangnya, dengan suara teriakan yang menggelegar.

"Burung hitam itu putri Raja Muayz.  Tangkap dia, hidup atau mati!  Kesatria ini bagianku.  Selamatkan jasad Jendral Nixria!"

Flyege mengatur posisi berdirinya.  Ia memantapkan kuda-kuda, ketika jendral perang Kerajaan Madhappa itu turun dari kuda.  Ksatria elit Adthera dan Jendral perang kerajaan Madhappa, siap berduel.

Bersambung ...

RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang