Chapter 11
Flyege berdiri mematung di antara 2 makam sederhana. Lama ia menatap salah satu nisan. Tiang batu itu berdiri anggun di sudut sebuah gundukan tanah berselimut rerumputan yang terawat rapi. Dua tangkai mawar di tangan kanannya
"Terima kasih telah merawat makam ayahku dengan baik, Nyonya Dzo". Flyege berbicara tanpa menoleh kehadapan Dzo yang sedang berdiri di belakangnya.
"Ravenska yang merawatnya. Ia memang sangat mencintai kedua orang yang terkubur di sini. Bahkan dia meminta jika ia mati, ingin di kuburkan dekat dengan ayahnya, Raja Muayz dan Father Gimra. Kau tahu, ia begitu menghormati ayahmu"
Flyege hanya terdiam. Matanya bersimbah air mata. Namun, tubuhnya tetap berdiri tegap. Kecamuk rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia bersimpuh dengan satu kaki di makam Father Gimra, yang berada di sisi kanannya, lalu meletakkan setangkai mawar di dekat nisan. Kemudian ia menoleh ke kiri, juga meletakkan setangkai lainnya pada makan Raja Muayz.
"Aku pun sangat menghormati dan mencintai Raja Muayz, Dzo. Laksanakan titah ratumu, Dzo." Flyege berkata sambil menoleh ke arah Dzo. Ia tak mau sedikitpun membuat pembelaan diri. Mereka pun meninggalkan makam itu.
"Dimana lokasi eksekusi itu Dzo? Ayahku juga di di eksekusi di sana, kan?"
"Ikut aku, Flyege"
...
Di sebuah panggung batu dekat ruang tahanan bawah tanah, Ravenska telah berdiri tegak dengan pedang yang masih berada dalam sarungnya, milik Flyege. Sementara Flyege telah siap dengan mata tertutup dan kedua tangan terikat rantai besi.
"Apa yang ingin kau sampaikan sebelum aku memenggal kepalamu, Flyege?" Tak sedikitpun Ravenska menatap wajah tahanan yang siap dieksekusi mati itu.
"Baik, Kau dengar baik-baik yang akan kukatakan."
Ravenska bergeming.
"RAVENSKA, AKU MEMULIAKANMU SEBAGAI SEORANG RATU ADTHERA. Hukuman mati ini, aku jalani sebagai bentuk pengabdianku pada negara. Satu hal yang perlu aku tegaskan sebelum ajalku, AKU BUKA PENGHIANAT ADTHERA." bergetar penuh tekad dan semangat begitu terasa pada suara Flyege.
"Bualan kosong yang membosankan." Ravenska melepaskan pedang dari sarungnya.
Tepat ketika matahari meninggi di atas kepala, tak banyak bayang-bayang tergambar di panggung susunan batu tempat eksekusi mati tersebut. Pedang ditangan Ravenska terangkat ke atas kepalanya, siap diayunkan.
"Untuk Ayahku, Raja Muayz. Untuk Guruku Father Gimra, Untuk Kerajaan Adthera dan Seluruh Rakyatnya. Aku membayar derita kalian hari ini, demi kehormatan negeri Adthera" Pedang terayun tepat ke arah leher Flyege.
TRAAANNGGG... Sebuah tongkat kayu membentur tangan ravenska. Pedang itu terlepas, menyayat lengan kiri Flyege. Baju yang dikenakannya robek, dan perlahan muncul rembesan merah yang berasal dari darah segar di tangannya yang terluka. Pedang pun terjatuh membentur panggung dan memantul kemudian melayang rendah keluar panggung, lalu mendarat di tanah dan rerumputan. Sebuah tongkat kayu tergeletak di lantai pangging.
"DZO...!" Ravenska terbelalak melihat Dzo di sudut tanah berumput datang dengan mengenakan jubah coklatnya. Bola matanya membesar. Ia mengatur nafasnya.
"Aku memang hanya pelayan istana yang hanya memiliki darah keturunan peri rumah. Keluargaku sudah bertahun-tahun melayani istana ini. Sejak ayahmu masih belia, sejak kau masih kecil. Aku bukan pendendam, jadi aku tak kan mengikuti emosimu untuk menaruh dendam pada putra gurumu. Guru terhormat yang paling kau segani. Aku tak mau menyesali ini di kemudian hari. Biarlah hari ini aku tak menuruti perintahmu, agar kau tak menyesal, kemudian". Dzo berbicara panjang sambil melangkah pelan menuju Ravenska dan Flyege.
Flyege yang mulai merasakan nyeri di tangannya, pun meringis. Dzo mengangkat Flyege untuk berdiri. Membuka ikat kain hitam penutup matanya.
"Ayo, kuobati tanganmu" ucap Dzo pada Flyege, "Dan pikirkan tindakan bodohmu ini". Ia berbicara ketus pada Ravenska saat melewatinya.
"Aku meminta pengadilan lanjutan. Ia harus melakukan pembelaan. Kau Ratu Adthera, jadilah seperti ayahmu pemimpin yang adil dan bijaksana. Pisahkan ego dan kewajibanmu dalam menegakkan hukum. Siapa pun orang yang bersalah, berhak melakukan pembelaan diri." Protes Dzo pada Ravenska. Sang Ratu terdiam. Akal sehatnya membenarkan kata-kata Dzo.
Napas Ravenaka terengah. Air matanya perlahan jatuh. Ia tak mengerti perasaan dann pikirannya saat ini. Ketika Flyege dan Dzo mulai menjauh, Ravenska meneriaki mereka.
"BAIK, TAK PERLU MENUNGGU LAGI. MALAM INI BERIKAN PEMBELAANMU, PECUNDANG !"
"Aku tak perlu melakukan apapun, Dzo. Biar dia lakukan apa yang menurutnya perlu dilakukan. Agar dendamnya terpuaskan." Flyege menimpali dengan lantang.
"DIAM KAU, FLYEGE. KAU TAK DIMINTA BERSUARA DISINI! Hukum Adthera harus tetap ditegakkan". Dzo tak kalah sengit meladeni kata-kata Flyege.
"AAAAGGGHH ... " Ravenska membuang pandangan. Lalu ia mengepakkan sayapnya, dan terbang menjauh dari area eksekusi hukuman mati itu.
Flyege dapat melihat dengan jelas, air mata Ravenska mengalir tak henti dari mata hitamnya. Itu memberikan rasa yang tak mampu ia jelaskan maknanya. Persahabataan yang hancur atau lebih dari itu? Jantungnya berdegub kencang, dadanya terasa sesak. Jejak penyesalan kembali merayap bersama sel-sel darahnya. Ia lepaskan pandangannya ke angkasa bersama harapan yang tersembunyi di dalam nadinya tentang Ravenska yang terbang menghilang di balik menara.
Tak sadar darah banyak mengalir terbuang dari lengannya yang terluka, ia terhuyung jatuh ke tanah, tepat di depan Dzo.
"Flyege ... !!!" Dzo terperanjat. Bersusah payah Ia jg membopong Flyege untuk di bawa ke ruang pengobatan.
...Bersambung ....
...
Kenapa Flyege?
Pengadilan, buat apa?Please, bintang yaaa...😍
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]
FantasyPutri tunggal Raja Adthera, Ravenska, menghilang. Dia, satu-satunya yang bisa diharapkan menjadi pembebas bagi rakyat Adthera. Ternyata Ravenska mendapat kutukan. Menjadi manusia bertubuh burung gagak, yang tersembunyi dalam hutan pinus terkutuk...