26. Wasiat

159 22 0
                                    

Chapter 26 a.
Wasiat

Pagi itu, Ravenska tidak muncul di ruang makan, di taman mawar, maupun saat memberi makan gagak-gagak mungil sahabatnya.

Flyege sedang melatih Dzo untuk lebih lihai menggunakan tongkat peninggalan Father Gimra.

"Dzo Kau tahu, siapa yang mampu mengendalikan tongkat itu selain ayahku?" tanya Flyege.

"Raja Muayz, tentu saja," jawab Dzo.

"Tidak. Paman Rweda lebih mahir untuk ini." Flyege mengacungkan tongkatnya memamerkan atraksi memegang tongkat dengan senyum mengembang.

"Oh, ya?" Mata Dzo tampak antusias.

"Ya, akan tetapi Raja Muayz menunda memberikan tongkat ini pada pamanku.  Kau tahu kenapa?" tanya Flyege kembali.

Dzo hanya mengangkat bahu dengan cepat.

"Ia harus menikah, agar emosinya lebih stabil."

"Oh, begitu?"  alis Dzo tertaut.  Tapi dari binar matanya, sangat terlihat Dzo menyembunyikan senyumnya.

Flyege diam.  Ia memperhatikan wajah Dzo dengan saksama saat menyerahkan tongkat ayahnya.  Sebuah tongkat yang tampak seperti akar usang jika dilihat sekilas.  Namun, tongkat sepanjang satu setengah meter itu batang utamanya tampak halus mengkilap akibat genggaman pemiliknya yang sudah bertahun-tahun.  Kepala tongkat itu terdapat ornamen berbentuk seperti ukiran nyala api, namun berongga.  Jika tongkat itu bekerja, akan terlihat empat buah permata kecil berkilau berwarna perak.  Jika tongkat itu bekerja maksimal untuk sebuah pertempuran maka permata itu akan memancarkan cahaya.

Siap berlatih, Dzo menerima uluran tongkat tersebut dari Flyege, lalu mencengkram tongkat di tangannya dengan sekokoh mungkin.  Demikian pula kakinya bersiap sedia.  Kuda-kuda sederhana untuk mengokohkan posisi berdirinya pun ia lakukan mengikuti instruksi Flyege sebelumnya.  Dzo tampak gugup.  Konsentrasinya terganggu dengan tatapan Flyege yang serius.

"Sudahlah Flyege, jangan lihat aku seperti itu.  Kau menggangu konsentrasiku." Dzo meminta.

"Oke, aku tak akan membahan tentang Paman Rweda hari ini. Mungkin nanti."

Flyege hanya tersenyum tak ingin melanjutkan bahasan yang menang ia akui tak wajar dibicarakan saat latihan serius seperti ini.  Ia pun kembali konsentrasi untuk melatih Dzo, dan berusaha mengembalikan fokus kepercayaan diri muridnya yang satu ini.

"Kau baik dalam mengucapkan mantra, tetapi untuk beban seberat ini, kau harus memegang dan menghentakkan tongkat ini lebih stabil dan kokoh.  Atau beban yang kau angkat akan terlepas, dan itu berbahaya." Flyege mengarahkan.

"Baik". Konsentrasi Dzo telah kembali.

"Pindahkan formasi batu yang telah ku susun itu ke atas panggung eksekusi!" Flyege memerintah.  "Ingat, harus dengan posisi yang sama.  Jangan sampai formasi itu rusak."

Dzo mengangguk, lalu ia memulai aksi latihannya.  Beberapa kali mencoba ia masih gagal.  Namun, Dzo tak patak semangat.  Ia terlihat bersemangat.  Flyege pun ikut tertular semangat muridnya yang satu itu.  Hingga aksinya ke 11 ia baru bisa memindahkan formasi batu yang di buat Flyege ke panggung eksekusi.  Mereka berteriak gembira atas keberhasilan Dzo.

Suasana pagi yang sejuk hingga matahari hampir meninggi, Ravenska sama sekali tak muncul di  tempat mereka latihan.  Dzo dan Flyege gundah.

"Apakah kau tak ada janji berlatih dengan Ravenska hari ini?" tanya Dzo pada Flyege.

"Seingatku, Kami akan berlatih hingga kalian benar-benar kuanggap mampu untuk kutinggalkan.  Apakah Ravenska tidak menganggap itu suatu kesepakatan?  Entahlah." ujar Flyege.

RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang