13. PENGADILAN

212 33 3
                                    

Chapter 13

Flyege duduk di pingiran jendela kamarnya di menara barat.  Dzo kembali menempatkannya di kamar itu. Lengan kirinya terikat kain putih dengan sedikit bercak merah dan coklat.  Pandangan matanya menatap lepas pada hutan mapple di luar tembok istana.  Itu bukanlah hutan mapple tempat ia duel dengan Revanska 10 tahun yang lalu--melainkan hanyalah hutan kota sebagai peneduh.  Degradasi dedaunan berwarna jingga, kuning, dan coklat, yang saling beradu, selalu mengingatkan dirinya pada kesalahan dan kecerobohan yang tak mungkin ia lupakan selama  hidupnya.  Tak pernah ia maafkan dirinya untuk semua hal-hal yang terjadi, pun sesudahnya.
...
Ravenska sudah duduk di singgasananya, bersiap untuk pengadilan ke dua.  Gaun hitamnya yang tipis dibiarkan menjuntai di lantai menutupi kakinya.  Sayap hitamnya terlipat di punggung.  Ia duduk tegak dengan kedua tangan bersandar di kanan kiri sandaran kursi. Sejenak dipandanginya tangan dan jari-jarinya.  Beruntung dia masih memiliki tangan manusia.  Menyadari bentuknya yang sangat buruk, hitam dan berbulu, Ia pukulkan tangan itu pada sandaran kursi di sampingnya.  Ia merunduk.  Air matanya kembali turun perlahan, merayap menyusuri paruhnya hingga tetesannya jatuh membasahi lantai.

Merasakan kembali pahitnya semua kejadian masa lampau  bersama kehadiran Flyege di hadapannya, sungguh menyesakkan.  Dilema, menjadi sebuah kata yang menggambarkan himpitan pikiran dan hati, di dada Ravenska.  Ia berhadapan pada definisi keadilan yang membingungkan.  Menuruti amarahnya yang beralibi, atau mendengarkan pembelaan yang enggan ia dengarkan, atau hal lain??

Sungguh ia ingin berteriak dan ingin berlari.

_"Keadilan, kemanakah ia akan berpihak?"._

Sore itu, senja yang sama menyakitkan dengan senja terdahulu.  Ravenska yang sedang menyendiri di ruang tahta, lamunannya membawa ingatan saat ayahnya mati oleh sebuah penghianatan.

Suara pintu gerbang terbuka, membuyarkan lamunan Ravenska.  Dzo muncul, kembali bersama Flyege.  Rona pucat diwajah pria itu sedikit samar.  Namun, itu sama sekali tak menghilangkan gurat kesedihan dan rasa bersalah dalam diri yang tergambar di wajahnya.  Rambut bagian depan putra Gimra itu terlihat lembab karena basah oleh keringat, ia biarkan menjadi tirai menutupi matanya.  Seperti seorang tahanan, ia berjalan dengan sangat lambar, karena kaki dan tangannya terikat dengan rantai besi.

"Selamat malam Yang Mulia, Ravenska" Dzo mengucapkan salam saat telah berdiri di depan singgasana tempat Ravenska duduk.  Ravenska hanya diam, ia membuang pandangan wajahnya ke arah lain.

"Anda belum makan malam, Yang Mulia?" Naluri keibuan Dzo, tiba-tiba muncul pada Ravenska.

"Selesaikan saja pengadilan ini.  Kalau Kau merasa dia perlu membela diri.  Kau pimpin sidang kali ini.  Aku hanya cukup mendengarkan". Ravenska memerintah Dzo dengan ketus.

"Baik, Yang Mulia" Dzo berjalan ke sebuah kursi di suatu sudut dekat singgasana.  Kursi itu berada turun satu undakan dari letak kursi megah Ravenska.  Kursi tersebut adalah tempat duduk penasihat raja.  Karena tak ada siapapun di istana Adthera, Dzo didaulat oleh Ratunya, Ravenska, dengan begitu banyak rangkap jabatan tanpa imbalan atau gaji yang sepadan.  Dzo tak keberatan dengan hal itu.

Flyege tinggal sendiri di lantai tengah ruang singgasana.  Ia tak berani menaikkan wajahnya.  Ada sebuah kursi tanpa sandaran tangan di belakangnya.

"Sekarang aku adalah penasihat kerajaan ini.  Aku bertindak sebagai pembelamu, aku bertanggung jawab pada perilakumu di pengadilan ini.  Kau hanya boleh berbicara, jika aku memintanya.  Mengerti?".  Dzo berbicara mantap pada Flyege.

"Saya mengerti, Yang terhormat, penasihat Kerajaan Adthera." jawab Flyege datar.

"Sekarang, silakan duduk" ucap Dzo.

RAVENSKA, The Epic of Fairy Tale [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang