Chapter 8 - Am I Jealous?

1.3K 198 48
                                    

Sebagai seorang muslim, kita harus kurangi mengeluh. Karena jika kita renungkan nikmat yang sudah Allah berikan, kita tidak akan pernah sanggup menghitungnya.

Kamu Separuh Agamaku—

***

Brak!

Semua orang serempak menoleh ke asal suara. Ternyata di belakang mereka, Fasya tengah berdiri dengan wajah kesalnya.

"Pelajari itu semua. Udah gue rangkumin buat kalian. Kalau kurang paham, bahas besok di sekolah. Yang butuh apa-apa bilang sama Bi Iis, gue ada perlu sama Jihan," jelas Fasya tanpa intonasi. Ekspresi wajahnya juga datar seperti triplek.

Gadis berjilbab itu gelagapan. Ia terkesiap, tiba-tiba saja Fasya memanggil namanya. Namun secepat mungkin Jihan mengangguki perkataan Fasya.

"Duluan ya, Kak." Jihan berpamitan lebih dulu sebelum bangkit lalu menyusul Fasya yang lebih dulu naik ke lantai atas. Arfan dan kedua temannya kompak mengangguk sambil tersenyum ramah.

"Wah, gue nggak habis pikir sama jalan otaknya si Fasya. Emangnya kita robot apa? Di suruh mempelajari materi segini banyak," keluh Rafa sambil mengambil beberapa kertas yang jatuh berserakan di lantai akibat dijatuhkan oleh Fasya. Lalu ia menatap kertas ditangannya dengan nanar.

"Jika kita mendapat suatu musibah kayak gini, nih misalnya. Harusnya kita bersyukur karena jika kita dapat bersabar menghadapinya maka dosa kita akan diampuni. Mengeluh hanya akan menmbuat hati kita gelisah." Arfan menimpali. Rafa dan Bagas bungkam seraya menatap temannya itu takjub.

"Yasudah, buruan dipelajari keburu sore," ujar Bagas menyakinkan. Ia tengah membaca isi dari kertas yang sudah dirangkum dan diperbanyak sebelumnya oleh Fasya. Jujur, ia merasakan kepalanya sekarang menjadi pusing, setelah melihat deretan angka yang ia tidak ketahui.

"Padahal udah dirangkum, ya. Tapi tetep aja masih banyak materinya." Arfan membolak-balikkan kertas yang dipegangnya. Arfan sama seperti yang lain. Otaknya kini mulai mendidih.

Ketiganya saling tatap menatap. Mereka juga serempak mendesah berat sembari menjatuhkan tubuh mereka di sofa.

***


Gadis yang tengah berada di depan cermin itu tersenyum lebar menampilkan deretan gigi-gigi putihnya. Ia sudah memakai mukena lengkap dengan sajadah yang disampirkan di pundak sebelah kanan. Fasya siap pergi ke masjid setelah kumandang azan terdengar sampai di kamarnya. Dengan langkah cepat Fasya menuruni tangga lalu berpamitan pada Mamanya yang sedang memasak di dapur bersama Bi Iis.

"Ma ... Fasya berangkat dulu, ya!" pamit Fasya sambil berteriak karena ia sudah tidak sabar menuaikan salat maghrib berjamaah. Karena ia lupa lupa ingat mengenai gerakan salat, jadi Jihan menyarankan untuk ikut salat di masjid dan mengikuti gerakan imam.

Kemudian Sindy mendatangi putrinya. Kedua netranya membulat sempurna. Antara percaya atau tidak, Sindy memastikannya dengan cara mengucek matanya berkali-kali seraya menghampiri Fasya yang barang sedetikpun tidak mengendurkan senyumnya. Jujur ini menyenangkan membuat Fasya deg-degan dan juga tidak sabaran.

"Ini Fasya anak Mama, kan? Cantik banget." Sindy memutar tubuh Fasya lalu mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Fasya mengangguk semangat.

"Ya Allah Fasya..." Sindy langsung mendekap badan Fasya sambil menangis terharu.

Fasya jadi ikut bersedih. Ia mengusap punggung sang mama dengan penuh kasih sayang.

Fasya mengangguk. "Iya, Ma ini Fasya. Fasya mau berubah jadi lebih baik. Fasya ingin kembali ke jalan Allah. Semoga mama bisa menyusul, ya."

Kamu Separuh Agamaku [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang