IV

360 57 18
                                    

Kalau ada orang yang paling keras kepala di dunia, mungkin itu adalah aku. Karenaㅡlihatlah! Orang-orang baru saja memperingatkanku untuk tidak berkeliaran sendirian dan membahayakan nyawa tapi aku dengan nekad sudah berdiri lagi di depan jembatan dari batang pohon besar itu seusai makan siang, padahal tadi pagi aku hampir celaka. Tapi rasa penasaran yang menggelegak serta perasaan diawasi membuatku gelisah dan aku tidak bisa kalau harus berdiam diri di dalam rumah berlagak tidak ada yang terjadi. Lagipula, garpu tanah milik Paman Kwon hilang dan aku harus mengambilnya kembaliㅡitu alasan yang kukatakan pada diriku sendiri sejak sepuluh menit yang lalu.

Bibi Kwon selalu sibuk di dapur atau pergi ke kebun pribadi untuk mengambil beberapa bahan makanan. Kak Eunbi juga sama sibuknya, membantu Bibi Kwonㅡaku baru tahu, kalau Bibi Kwon memasak beberapa makanan untuk kemudian diantarkan ke para petani yang tengah beristirahat oleh Kak Eunbi. Aku tidak tahu apakah Bibi Kwon dibayar atau tidak tapi Yujin bilang kalau yang menyuruh adalah ayahnyaㅡPaman Kwon adalah orang yang cukup terpandang di desa meski terlihat biasa-biasa saja. Sementara Yujin asyik dengan kegiatan barunya; bermain game bersama Youngjae.

Aku bilang hendak mampir ke toko kelontong Bibi Lee sebentar membeli beberapa cemilanㅡYoungjae melarang pada awalnya. Berseru menyebalkan tanpa melepas pandangan dari ponsel, "Tidak boleh! Kau pasti akan berkeliaran lagi, kan? Aku tahu itu!". Tapi dia langsung terdiam saat kubilang aku akan mentraktirnya. Cih. Yujin pun samaㅡah, ponsel bisa membuat orang berubah drastis.

Karena jaketku kotor dan Kak Eunbi bersikeras hendak mencucikannya, aku menumpuk kaos dengan jaket Youngjae yang kuambil diam-diam. Kebesaran, tapi itu lebih baikㅡagak menyesal kenapa aku hanya membawa satu jaket. Memastikan tali sepatuku sudah terikat kencang (aku tetap memakai sepatuku yang tadi pagi, yang sudah kotor bernoda), aku mengembuskan napas. Aku juga tak lupa membawa ransel, dan pisau yang kupinjam dari dapur Bibi Kwonㅡsebenarnya kuambil diam-diam, sih. Dan kalau gumiho itu menyerang lagi, aku akan segera menikamnya dengan pisau ini.

Menyeberangi batang pohon kayu tidak sesulit tadi pagi ketika aku benar-benar berkonsentrasi dan tidak membawa apapun di tangan. Meski batang pohon itu berderak-derak seolah hendak menakut-nakutiku, aku berhasil sampai di seberang tanpa harus berguling-guling. Melintasi padang rumput dengan matahari terik di atas sana tanpa ragu-ragu. Menarik keluar pisau dari dalam tas ketika mulai masuk ke dalam hutan.

Hawa dingin dan bau lembapnya masih sama. Pohon-pohon yang menjulang suram itu juga masih sama. Tapi kali ini aku lebih waspada. Bertekad untuk tidak membiarkan seorang pun menghalangi langkahku.

Aku berjalan lurus ke dalam hutan. Membiarkan angin berdesau membelai tubuhku dan meninggalkan kesan ganjil. Dikejauhan sana, diantara pohon-pohon yang menjulang, kegelapan seolah tak berujung dan genggamanku pada pisau mengerat. Aku memasang telinga baik-baik, mendengarkan suara sekecil apapun itu selain deru napasku dan juga suara langkah kakiku sendiri. Gemerisik dedaunan selalu membuatku menoleh dengan cepatㅡmengantisipasi kalau-kalau si gumiho datang lagi dan aku sudah menyiapkan diri. Well, aku tidak tahu bagaimana caranya membunuh seekor siluman rubah, tapi mungkin tikaman tepat di jantung sudah cukup. Iya, kan?

Plop! Plop!

"AAAK!" teriakanku memecah kesenyapan hutan ketika mendadak entah darimana datangnya, dua orang pria muncul di depankuㅡbenar-benar muncul begitu saja seperti sulap. Cling! Aku bahkan tidak mendengar ada langkah kaki atau tanda-tanda lain. Melompat mundur kaget, aku mengacungkan pisau dan merasakan hawa dingin hutan berputar di sekitarku. Tanganku agak gemetaran dan jantungku sudah berdentam menggedor rongga dadaㅡmungkin akan melompat keluar kalau tidak ditahan tulang-tulang rusuk.

Forbidden Forest (JB x Yena)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang