XVI

243 42 13
                                    

"Kenapa mereka meminta kami kembali lagi ke sana besok?"

Tuan Yi-en mengantar kami pulang hingga menyeberang sungai sore itu, dan kami bergegas membersihkan diri. Menyantap makan malam tanpa banyak bercakap seperti biasanya dan menjelang tidur, Youngjae menyelinap masuk ke kamarku dan Yujin. Kami duduk melingkar di atas lantai kayu dengan ruat serius. Well, lebih tepatnya Youngjae yang memasang wajah serius seperti hendak memukul seseorang.

"Tuan Yi-en sudah menjelaskan kalau kalian bisa membantu kami." jawabku pelan. Tuan Yi-en memang sempat menjelaskan beberapa hal seperti apa yang sebenarnya kulakukan di dalam hutan, siapa itu Yuri, dan meminta Youngjae serta Yujin untuk kembali besok seperti yang diinginkan Jaebum. "Untuk lebih detailnya, aku tidak paham. Besok mungkin akan dijelaskan secara rinci. Dan ini agak... serius."

Aku mendongak menatap Youngjae dan Yujin bergantian, menelan ludah pelan. Lampu-lampu di luar kamar sudah dimatikan dan penghuni rumah lain sudah terlelap. Suasana hening yang ditingkahi nyanyian jangkrik serta deru angin malam justru membuat kami semakin gelisah alih-alih tenang seperti biasa. 

"Benar." Yujin mengangguk pelan setelah sebuah helaan napas. "Seperti dalam film-film yang pernah kutonton. Keren, tapi aku juga jadi gugup." dia tertawa canggung setelahnya, menggaruk kepala yang tidak gatal dan aku nyengir pelan.

"Tapi ini mengkhawatirkan, Yena. Kita harus menelepon Mamaㅡ"

"Jangan!" selaku cepat, menggelengkan kepala tegas. "Mama pasti tidak akan percaya dan itu hanya akan membuatnya khawatir. Kita bisa melakukannya, kok. Penghuni hutan akan membantu. Dan... kami punya pasukan, Youngjae."

"Ini akan jadi perang besar, ya?" gumam Yujin yang kujawab dengan anggukan. Aku kembali menjelaskan penglihatan yang kudapat ketika bertemu dengan Sang Penyihir dan mereka menyimak dengan serius. Tidak ada raut menyebalkan atau penuh jenaka seperti biasanya. Karena persoalan ini memang serius. Mulut besar Youngjae bahkan terkatup dan menatapku tak berkedip.

Kami kembali terdiam sebelum kemudian Youngjae bangkit perlahan, melambaikan tangan dan keluar menuju kamar. Aku dan Yujin menggelar futon tanpa banyak bicara. Berbaring gelisah sembari menatap lurus ke arah langit-langit kamar. 

Lima hari lagi

***

Kami bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya, masih dalam keadaan lelah dan mengantuk. Aku bahkan tidak benar-benar merasa terlelap karena beberapa kali terbangun tanpa alasan yang jelas dengan jantung berdegup gelisah. Meski sempat berebut kamar mandi (yang kemudian ditentukan dangan batu-gunting-kertas), kami menyantap sarapan tanpa banyak bicara. Sempat membuat Kak Eunbi melempar senyum geli karena akhirnya melihat kami bertiga hendak keluar bersama ("Nah, harusnya memang begitu. Akan kusiapkan bekal yang banyak." begitu kata Kak Eunbi yang langsung diangguki penuh semangat oleh kami) lantas kami berpamitan dan melangkah keluar dari pagar batu.

Pagi ini terasa berbeda. Biasanya aku hanya sendirianㅡmenyusuri jalan setapak diam-diam (kadang juga agak terburu) tetapi sekarang ada teman yang bisa kuajak bercakap dan kami membicarakan banyak hal; mulai dari Yujin yang hampir jatuh ke dalam sungai saat menyeberangi batang pohon kemarin dan Youngjae yang masih saja ketakutan kalau harus melintasi Hutan Terlarang meski kondisi tengah hutan cukup menyenangkan.

"Tapi si perempuan itu menyeramkan. Siapa namanya?" kami hampir sampai di sungai ketika Youngjae bertanya dengan wajah merengut. "Siluman rubah itu? Aku tidak terlalu suka padanya."

"Hyewon?" tanyaku yang dijawab anggukan. Aku meringis pelan. "Kalau baru pertama kali kenal memang begitu. Dulu bahkan saat pertama kali bertemu dia hampir memakankuㅡ" kalimatku membuat Youngjae menjerit ngeri dan Yujin melotot kaget, yang buru-buru membuatku menggelengkan kepala sembari mengibaskan tangan, "ㅡtapi itu karena dia belum tahu kalau aku adalah Sang Terpilih! Dia langsung meminta maaf setelah itu, kok!"

Forbidden Forest (JB x Yena)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang