V

340 55 9
                                    

Ketika malam tiba, badanku panas. Seolah mendadak terserang demam dan Bibi Kwon panik luar biasa. Bergantian dengan Kak Eunbi, mengompres tubuhku. Sementara Youngjae yang sama paniknya, gegabah hendak menelepon Mamaㅡtindakan yang langsung kucegah karena tidak mau membuat Mama khawatir di tengah pekerjaan yang menumpuk.

Aku memimpikan kejadian itu lagi ketika terlelap; duduk bersandar pada kusen jendela saat usiaku sembilan tahun, menatap kerlip cahaya dari lampu-lampu gedung di bawah langit dengan bulan keperakan seolah hendak menyaingi bintang. Menunggu kepulangan Papaㅡdia bilang hendak membelikanku es krim, yang sukses membuatku terjaga hingga lewat jam tidur.

"Kenapa belum tidur, Yena?" Mama yang baru saja selesai mencuci pakaian (Mama punya kebiasaan mencuci pakaian di malam hari dan menggantungnya berjejer di balkon rumah membiarkan kain-kain itu tertiup angin malam yang dingin) saat melintasi ruang keluarga dan melihatku masih menempel di jendela. Aku nyengir lebar, berkata bahwa aku menunggu Papa. Jawaban yang membuat Mama menggerutu dan bilang kalau Papa ada lembur hari ini dan baru akan pulang tengah malam nanti. Tapi bagi anak sembilan tahun, menanti hingga tengah malam untuk es krim pun tak mengapa.

Mengembalikan tatapan ke barisan gedung tinggi di luar sana, seleret cahaya yang meliuk di antara gedung-gedung itu menarik perhatianku. Awalnya kukira hanya salah lihat, tapi ternyata tidak; di atas langit sana, bersaing dengan lampu-lampu gedung yang berpendar, seekor kuda berbulu putih dengan cahaya lembut tampak mengepakkan sayapnya yang lebar. Meliuk lincah di antara puncak-puncak gedung. Hilang di balik satu gedung kemudian muncul lagi dengan mengagumkan. Mengingatkanku pada pegasus di serial Barbie kesukaanku. Aku terperangahㅡmulutku terbuka dengan rahang bawah menempel di kusen jendela.

"Mama!" teriakanku keras sekali hingga Mama tergopoh keluar dari ruang cuci dengan raut panik. Mungkin mengira terjadi sesuatu padaku. Namun dengan polosnya, aku menunjuk ke langit sambil kembali berteriak, "Ada kuda terbang, Ma! Ada kuda terbang!"

Tentu saja seruan itu membuat Mama menggelengkan kepala sembari menghela napas panjang, tanpa mau repot-repot ikut melongok ke luar jendela. "Tidak ada kuda terbang, Yena. Kau terlalu banyak menonton film!" begitu kata Mama, merusak imajinasi anak sembilan tahun. Aku mengerucutkan bibir, menatap sekali lagi kuda putih di atas sana yang masih mengepakkan sayap sebelum meluncur mulus ke belakang sebuah gedung dan menghilang.

Ketika usiaku bertambah, aku juga berpikir kalau itu hanya imajinasi belaka. Namun kejadian kemarin seolah mempertegas bahwa apapun yang kulihat adalah nyata.

---

Senandung itu masih terdengar ketika aku terjaga dari mimpi masa lalu. Namun kali ini hanya berupa gaung yang terdengar jauh sekali, tidak sejelas kemarin-kemarin.

Aku mengerjap, melirik Yujin yang tidur dengan tenang. Lantas menyibak selimut dan perlahan bangkit dari futon. Panasku belum turun, tapi menyelinap keluar sebentar dari kamar kurasa tidak masalah. Toh aku tidak pusing atau apaㅡhanya panas. Berjinjit di atas lantai kayu dan menggeser pelan-pelan bingkai jendela, cahaya putih itu masih berkedip tapi lemahㅡkalau diibaratkan ponsel, terlihat hampir kehabisan daya.

Kemudian, ketika angin malam berembus dingin menyapu wajah, senandung serta cahaya putih itu memudar hilang. Membuatku mengerjap. Dan sekali lagi merasa bahwa itu semua hanyalah imajinasi belaka; senandung itu, cahaya itu, juga hutan gelap mencekam di seberang sana.

Apakah itu semua nyata? Kalau iya, kenapa semakin lama terasa aneh?

Maka dengan semua pemikiran itu, aku terjaga semalaman.

***

"Kenapa, Yena? Tidak enak?" suara Bibi Kwon pagi itu membuatku tersentak dan buru-buru menggeleng. Menyuap nasi sekali lagi ke dalam mulut lantas mengunyah lama sekali. Terhitung dua hari sejak kejadian itu, rasanya entah kenapa tak keruan; tubuhku masih panas, kesulitan tidur, bahkan aku tidak nafsu makan. Padahal aku bukanlah tipe orang yang suka pilih-pilih makanan dan masakan Bibi Kwon selalu enak. Tapi perutku memberontak.

Forbidden Forest (JB x Yena)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang