VII

290 50 3
                                    

Apa kau pernah, ketika tengah tidur nyenyak mendadak terbangun karena dikagetkan oleh sesuatuㅡmembuat jantungmu berdebar kencang juga kepalamu pening berputar? Kalau iya, itulah yang kurasakan sekarang.

Tubuhku limbung dan aku terhuyung. Rasa sakit di telinga masih terasa sementara kepalaku berputar sekarang. Perutku bergolak dan sarapanku tadi pagi rasanya naik kembali ke tenggorokan. Ketika berpikir bahwa sebentar lagi aku akan muntah, teriakan-teriakan panik dan kesakitan serta suara tangis dan derap langkah kaki menarikku kembali dalam kesadaran. Melenyapkan semua perasaan yang muncul di perut barusan.

Pandanganku agak mengabur. Aku harus mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbiasaㅡdan alih-alih mendapati reruntuhan batu, di depanku justru terhampar pemukiman dengan rumah-rumah berupa hanok yang dilahap api. Para penduduk berlarian keluar dengan panik sembari menggendong bungkusanㅡentah berisi barang-barang berharga atau malah bayi-bayi mereka. Suara teriakan melebur bersama tangis bayi dan derak api yang menjilat-jilat. Membuatku membelalak.

Di mana ini? Apa yang terjadi?

Kepalaku ikut berasap seperti rumah-rumah itu dan sebuah pekikan lolos dari tenggorokanku. Berputar, aku mencoba meraih seorang wanita paruh baya yang melintas di sebelahku sambil menggendong bayiㅡnamun tidak mampu menggapai wanita itu. Seolah aku adalah hantu, atau sekadar bayangan. Tanganku menembus lengan wanita itu dan pekikanku nyaring di antara teriakan-teriakan panik.

Di mana ini?

Sekali lagi aku bertanya, mencoba memanggil Jaebum namun dia tidak ada di mana pun aku mengedarkan pandangan. Lantas terhuyung, aku mengambil langkah maju. Membiarkan orang-orang ini berlarian menembus tubuhku. Panas api yang membakar rumah menjalar ke sekujur tubuhㅡnamun itu tidak menghentikan langkahku. Aku harus mencari, siapapun itu yang aku kenal. Entah Jaebum, Yugyeom atau Bambam. Atau mungkin Hyewon!

Dan di tengah semua pemikiran itu, sesuatu yang terasa lebih dingin dan menyejukkan mendadak menyentuh lenganku pelan. Membuatku terkesiap lantas menoleh, mendapati seorang perempuan yang mungkin usianya dua atau tiga tahun lebih tua darikuㅡberambut gelap panjang yang dijalin dalam sebuah kepangan rapi dan mengenakan hanbok putih yang berkibar tersapu angin juga asap yang membumbung. Perempuan itu mengulum senyum lembut.

"Siapa?" tanyaku pelan. Nyaris tak terdengar di tengah kekacauan ini. Perempuan itu kembali tersenyum. Tangannya yang dingin perlahan turun dari lengan ke jari-jariku.

"Orang-orang memanggilku Sang Penyihir." suaranya lembut, namun terdengar jauh. "Dan aku akan menunjukkan sesuatu padamu, Choi Yena." lalu saat tangannya menggenggam jemariku, sekali lagi rasanya aku terhempas. Tanah di bawah kakiku berubah meski api masih terlihat di mana-mana dan teriakan-teriakan itu masih terdengar.

Pemandangan di depan kami bukan lagi hiruk-pikuk pemukiman yang kacau, tetapi lebih terlihat seperti sebuah halaman yang luas di depan sebuah istana yang megah dan elegan. Mengerjap, tatapanku jatuh pada sosok-sosok yang berbaring di atas tanahㅡbergeming. Ada cairan merah pekat di mana-mana dan perutku kembali bergolak. Itu darah. Mereka semua mati.

"Apa yang terjadi?" tanyaku pada Sang Penyihir yang sama sekali tidak melepaskan genggamannyaㅡyang entah kenapa justru membuatku merasa sedikit lebih baik.

"Seribu tahun yang lalu, terjadi pembantaian oleh putri bungsu Sang Raja. Dia menghabisi seisi istana dan mencelakai penduduk sekitar." Sang Penyihir berkata. Menarik tanganku melewati mayat-mayat itu. Kaki-kaki kami menembus mereka. "Sang Putri gelap mata. Kekuasaan dan tahta yang diinginkannya justru jatuh ke tangan kakak laki-lakinya yang lemah. Padahal dia mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar."

Forbidden Forest (JB x Yena)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang