XXVI

253 43 21
                                    

Perang sudah berakhir.

Tuan Yi-en mengatakan padaku kalau perang tidak pernah menyisakan hal yang menyenangkan. Selalu ada duka yang menyertainya. Dia juga berkata, sembari menepuk bahuku lembut, kalau itu semua bukan salahku. Lagipula, Dewa sudah menggariskannya demikian.

Desa perlahan sudah kembali dipadati penduduk. Beberapa harus menerima kenyataan pahit kalau kerabat, suami, atau ayah mereka harus gugur dalam peperanganㅡyang mayatnya dikuburkan di tepi sungai dalam tengah hutan. Sementara keadaan tengah hutan juga sudah mulai membaik meski membutuhkan waktu untuk mengambalikannya seperti dulu; pepohonan banyak yang rusak dan pendar yang memancar tampak begitu sendu.

Paman Kwon, yang sempat menghilang di tengah pertempuran, selamat. Dia disingkirkan karena terluka parah waktu itu; kakinya patah dan kepalanya mengalami benturan yang cukup keras. Youngjae dan Yujin baik-baik sajaㅡmereka berdua terluka hanya saja tidak terlalu parah dan aku bersyukur mereka masih hidup. Sepertinya jimat yang diberikan Jaebum benar-benar bekerja. Sementara Bambam berhasil diselamatkan, meski harus mengalami luka yang cukup serius. Chaeyeon dan Minju juga gugur.

Penduduk yang terluka segera dibawa kembali ke desa untuk diobati segera ketika matahari terbit. Lantas Yujin, dengan diantar Tuan Yi-en, meluncur terbang ke desa sebelah untuk memanggil dokter yang buru-buru datang.

Selebihnya, semua baik-baik saja. Meski luka dan trauma akan perang tetap membayangi.

Bibi Kwon dan Kak Eunbi memeluk dan menciumi kami dengan air mata bercucuran ketika kembali ke desa. Berkali-kali menggumamkan terima kasih pada Dewa karena kami, serta Paman Kwon, masih selamat. Meski tidak ada senyum di bibir kami ketika kembali ke desa dalam keadaan kacau.

Kemudian Bibi Kwon dan Kak Eunbi, juga beberapa perempuan dari desa, mengurus para penduduk yang terluka dan membutuhkan bantuan.

Kakek Yoon, si tetua desa, dan beberapa orang segera mendatangi rumah keluarga Kwon ketika kembali. Mereka menyalamiku dan memperlakukanku seperti seorang pahlawanㅡyang sejujurnya tidak membuatku nyaman. Karena aku bahkan tidak bisa melindungi semua orangㅡtidak terhitung berapa orang yang meregang nyawa. Meski, sekali lagi, Tuan Yi-en mengatakan kalau itu bukan salahku.

Setelah semua yang terjadi, penduduk desa bergotong royong membangun jembatan yang lebih bagus, agar orang-orang yang hendak melayat tidak perlu takut untuk menyeberang. Penghuni hutan sendiri tidak masalah menerima kunjungan dari para penduduk. Jinyoung bilang, tidak masalah selama mereka tidak mengacaukan hutan. Toh sekarang tidak ada lagi yang perlu ditakuti karena penyihir jahat telah berhasil dikalahkan.

"Kau yang akan menjaganya mulai sekarang, Tuan Yi-en."

Keesokan harinya sebelum Paman Park menjemput aku dan Youngjae untuk kembali ke kota, kami menyempatkan diri mengunjungi tengah hutan. Melintasi Hutan Terlarang yang tidak semengerikan dulu karena perang menyisakan lubang-lubang pada dahan-dahan daun yang menyerupai kanopi di atas sana, membuat cahaya matahari akhirnya bisa menerobos masuk.

Tuan Yi-en, tertegun menatap belati perak yang kusodorkan padanya. Lantas menggeleng pelan tanpa meninggalkan sopan-santun. "Tidak, Nona. Anda lebih pantas menjaganya dan memimpin hutanㅡ"

"Aku tidak bisa terus berada di sini." suaraku serak ketika mengatakannya. "Aku harus kembali ke kota, bersekolah. Menjalani hidupku sebagaimana mestinya." menghela napas pelan, aku melirik pohon dengan batang yang saling berpuntir di tengah hutanㅡtempat di mana Jaebum dan Yugyeom dimakamkan dengan lebih layak. Mengulum bibir ketika merasa hendak menangis untuk kesekian kalinya.

Meski tampak ragu sejenak, Tuan Yi-en akhirnya membungkukkan tubuh dengan sebuah helaan napas dalam. Meraih belati dari tanganku.

"Saya akan menyimpannya untuk Anda." ujarnya lembut. "Anda bisa datang berkunjung kapanpun Anda mau, Nona Yena. Kami akan menyambut dengan senang hati."

Forbidden Forest (JB x Yena)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang