Three

548 94 7
                                    

Malam semakin larut. Kini hanya terdengar suara hewan-hewan malam yang mungkin tengah dilanda kelaparan.

Lain halnya dengan gadis berhijab itu, bukan dilanda kelaparan melainkan kemalangan.

Ceklek

Pintu kamar terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya yang berusaha membuka matanya.

Melihat kearah jam dinding usang berwarna biru diatas televisi.

Pukul setengah tiga pagi. Ia merasa haus dan juga mendapat undangan alam untuk membuang hajat.

Sangat malas rasanya di tengah malam buta seperti ini jika harus membuang hajat, namun mau bagaimana lagi?

Ia berjalan perlahan mengambil sebuah gelas di dapur kemudian menuangkan air putih yang ada di teko berwarna merah di atas meja makan.

Rasa hausnya perlahan mulai reda, namun tidak dengan perutnya. Ia berjalan lagi menuju kamar mandi, saat hendak membuka pintu, ia di kejutkan dengan terkuncinya pintu itu.

"Loh kok di kunci?" ucapnya heran lalu melangkah mencari seseorang yang mungkin ada di rumahnya.

"Pa? Bapa?" teriaknya memanggil sang suami tetapi sepertinya beliau tidak ada, biasalah ia tengah mengundi nasib diatas dosa-dosa.

Wanita paruh baya itu terus mencari kunci kamar mandinya, untunglah ternyata sang suami menyimpan di atas televisi.

Kemudian ia buka pintu itu dengan kunci yang telah di dapatnya dan seketika matanya terbelakak melihat sang putri tidur bersandar pada tembok kamar mandi.

"Nak, kenapa kau tidur disini?" ucapnya lembut seraya mengelus-elus bahu sang putri.

Tak butuh waktu lama, sang putri pun bangun kemudian langsung memeluknya.

"Kenapa nak?" tanya sang Ibu.

"Ayah," jawabnya parau.

Sudah menjadi hal biasa jika sang Ayah menghukum Anjani seperti ini, Ibu percaya bahwa Anjani pasti tidak pernah bersalah.

"Yaudah yuk, kamu bersihin diri kamu dulu terus shalat tahajud," ajak sang Ibu yang di jawab anggukan lembut oleh putrinya.

"Ibu gak shalat?" tanya Anjani.

"Ibu ingin buang hajat dulu putriku," jelasnya.

"Baiklah,"

Anjani pun melaksanakan shalat dua rakaatnya dengan khusyuk. Mukenah putihnya tampak begitu lecak, namun bersih.

Sajadahnya pun telah robek di bagian atas kanan, mungkin digigit oleh tikus.

Shalatnya telah selesai, ia pun menengadahkan tangan dan berdoa.

"Rabighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shoghirah, Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan dosa orang tua ku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangi aku di waktu aku kecil,"

"Ya Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, tabahkanlah hambamu ini dalam menjalani kehidupan yang fana ini, sabarkan dan lapangkanlah hamba dalam menerima ujian serta cobaan darimu,"

"Ya Allah, mudahkanlah segala urusan hamba dan keluarga hamba, serta mohon bukakanlah pintu hati Ayah Ya Allah, semoga ia cepat-cepat sadar. Amin, ya rabbal alamin. Rabbana atina fidudunya khasanah wafil alhiratikhasanah,wakina adabbanar."

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Namun, tak ada suara tangisan dari bibirnya, kemudian ia mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya.

Tak dirinya ketahui, bahwa sedari tadi di belakang pintu kamar ada yang mendengarkan semua doanya. Dari awal hingga  akhir, dia juga turut meneteskan air mata.

Aku Ingin Ayah Solat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang