Fifteen

162 37 2
                                    

Menit demi menit berganti, lomba pun telah usai dilaksanakan. Dan seperti biasa, SMA Ar-Rahim mendapat juara satu.

Meski sebelumnya Anjani telah tertinggal skor dengan Sekolah lain, ia tetap berusaha sekeras mungkin dengan bantuan Sarga juga tentunya.

Kini mereka sudah sampai di lapangan utama Sekolah, namun yang mengejutkan semua siswa dan siswi berbaris rapi persis seperti upacara tadi pagi.

Begitu Anjani dan Sarga sampai, tepukan meriah terdengar dari seluruh penjuru Sekolah, ada rasa bangga Dan haru yang menyertai.

Tepukan berhenti, keadaan menjadi sunyi hingga akhirnya Pak Budi berbicara.

"Terima kasih untuk Anjani Dan Sarga, kalian telah membanggakan Sekolah kita semua. Juga selamat karena telah memenangkan lomba cerdas cermat tingkat Nasional." Tutur Pak Budi sangat terlihat ia begitu bangga.

Anjani hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban, sedangkan Sarga seperti biasa hanya diam dan menatap lurus ke depan.

"Selamat untuk SMA kita. Beri tepukan yang meriah." Lanjut Pak Budi dan tepukan pun terdengar begitu ramai. Semuanya turut gembira, hanya dia yang benci atas kemenangan Sekolahnya.

Seharusnya bangga dengan nama baik Sekolah nya terjunjung, namun dia justru sebaliknya.

Barisan pun dibubarkan dan seluruh murid diperbolehkan pulang, karena memang sudah waktunya pulang.

Yara dan Fasha menghampiri Anjani dan memeluk sahabatnya. Begitu bangga mempunyai sahabat seperti Anjani.

"Selamat Anjani sahabat baik gue." ucap Fasha di sela-sela pelukannya.

"Sahabat baik gue juga kali." Yara menimpal seakan tak terima dengan ucapan Fasha.

"Lu mah sahabat buruk gue hahahaha." Fasha Benar-benar memancing emosi Yara.

"Aku lebih bangga mempunyai kalian berdua." ujar Anjani langsung meluluhkan hati kedua sahabat nya.

Yara dan Fasha tiba-tiba diam dalam pikiran nya masing-masing.

"Andai lo tau siapa gue sebenarnya Njan. Mungkin lo malu punya sahabat kayak gue."
Batin Yara.

"Hm. Terharu kan." Fasha pura-pura menghapus air matanya, padahal tak ada sesetes pun air dimatanya.

"Udah ah. Yuk pulang." Ajak Yara menarik Fasha dan Anjani.

"Eh buset lo dikira gue apa si narik-narik." ucap Fasha tak terima.

"Yaelah cuman kek gitu doang gak sakit itu mah." jawab Yara setelah melepas tarikannya.

"Mata lo dimana? Nih merah kek gini gak sakit apanya." ucap Fasha memperlihatkan tangan kanan nya, yang benar sudah berwarna merah.

"Udah ah kalian ribut mulu." Anjani berusaha melerai kemudian meninggalkan kedua sahabatnya.

"Eh Njan. Mau kemana?" Teriak Yara.

"Ambil tas." jawab Anjani setelah membalikkan badan dengan ucapan tanpa suara.

"Ngomong apa tuh Anjani. Gak ada suaranya." ucap Fasha tak mengerti maksud Anjani.

"Lo kan tau Anjani itu alim banget orang nya. Pasti gak mau teriak-teriak lah. Lo aja yang bego, dia mau ambil tas." Jelas Yara.

"Lo juga bego." Timpal Fasha kesal entahlah Yara memang menyebalkan.

"Iya kita bego. Kenapa tadi gak bawain sekalian tas nya Anjani coba?" Tanya Yara.

"Iya juga yah." Keduanya kemudian tertawa, mereka itu sahabat bego.

Setelah mengemasi barang-barang nya, Anjani keluar kelas dan betapa kagetnya dia melihat Sarga bersandar di dinding sebelah pintu.

"Bareng." Ucap Sarga tiba-tiba.

"Aku bareng sahabat-sahabat aku. Sebelumnya terima kasih." Jawab Anjani sopan dan meninggalkan Sarga namun ia kembali lagi.

"Oiya Sarga. Kamu kenapa bisa kerja di Cafe yang sama kaya aku?" Tanya Anjani tanpa basa-basi.

"Ya bisalah." Dan itu jawaban Sarga lalu meninggalkan Anjani.

Anjani pun pulang bersama kedua sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Yara dan Fasha.

***




A

njani sampai di Rumahnya. Dengan piala di kedua tangan mungilnya. Dia berharap dengan ini bisa membujuk Ayah untuk pulang.

"Asalamualaikum," ucap Anjani.

"Waalaikumussalam," jawab sang ibu mengulurkan tangan nya.

"Anjani, berhasil lombanya?" Tanya ibu melihat piala yang dibawa Anjani.

"Iya alhamdulilah, Bu. Ini juga berkat doa ibu." Jawab Anjani tersenyum.

Sang ibu kemudian memeluk anaknya. Orang tua mana yang tidak bangga kepada anaknya yang telah menjuarai lomba. Mungkin, hanya Ayah Anjani.

"Oiya Bu kabar Ayah bagaimana?" Tanya Anjani dan ibu tiba-tiba diam.

"Kamu bersihkan badan dulu. Nanti ibu cerita."

***

Di tempat lain, Ayah Anjani tengah berhalusinasi wajah bos nya sendiri.

"Bu karin, cantik sekali kau." ucap nya dengan tangan bersandar di wajah.

Ia tak memperdulikan keluarganya yang begitu khawatir dengan nya.

"Pak Tino?" Panggil Pak Fajar, Ayah dari bos Ayah Anjani.

"Oiya Pak." Jawab Tino gugup.

"Kenapa melamun?" Tanya Pak Fajar.

"Ouh ini saya kepikiran mantan istri dan anak saya." Benar-benar Ayah yang tega.

Bahkan dirinya saja masih sah menjadi istri Ibu Anjani. Dan mengaku telah bercerai?

Dia, tak menyayangi Anjani juga istrinya. Pikiran nya hanya uang dan uang.

Beberapa menit kemudian, Headphone nya berdering, tertera nama anak nya disan, Anjani.

Buru-buru ia matikan. Melihat itu, Pak Fajar sedikit curiga.
Sedangkan sang penelpon menatap layar HP nya kecewa.

"Ayah kenapa gak angkat telpon aku yah? Padahal aku mau ngabarin menang lomba. Sudahlah mungkin Ayah sibuk." Ucap Anjani berusaha tidak berburuk sangka kepada Ayah nya.

"Anjani sini nak." Suara lembut Ibu.

Anjani tak langsung menjawab, ia menghampiri Ibu nya terlebih dahulu baru menjawab. Sebab itu adalah ajaran dari sang Ibu. Berteriak kepada orang tua itu tidak sopan.

"Iya, Bu." Jawab Anjani kemudian duduk di samping Ibu nya.

"Ayahmu sudah tak memperdulikan kita. Dia lebih asik dengan bos cantik nya disana." Jelas Ibu raut sedih.

"Ibu tahu dari mana?" Tanya Anjani berusaha tetap tenang.

"Dari nenek dan saudara-saudara Ayahmu. Ibu sudah tidak kuat Njan." Tutur Ibu sudah berurai air mata.

"Dengan kelakuan nya seperti itu Ibu masih bisa sabar. Tetapi kali ini, ibu sudah tidak bisa menahannya lagi. Lebih baik Ibu berbaring di rel kereta."







Terima kasih telah membaca. Walaupun mungkin bagi kalian  tidak bagus dan membosankan, karena kalian lebih banyak hanya membaca.

Oiya untuk Visual selain Anjani dan Sarga nanti menyusul yah.

Salam sayang, Anya:)

-Pecinta dinding Jingga♡

Aku Ingin Ayah Solat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang