Seven

317 73 2
                                    

Rintik gerimis mulai turun, membasahi apa saja yang ada di muka bumi.

Entah itu pepohonan, tanah, bebatuan, hewan, benda juga manusia.

Manusia ini contohnya, dengan langkahnya yang mulai panjang ia panik karena seragam sekolahnya mulai basah.

Bukan seragam sekolahnya saja yang basah, namun tas, sepatu dan hijabnya turut basah.

Malangnya, sang gadis hanya memiliki satu. Hijab putih satu, tas satu, sepatu pun satu.

Entah apa yang akan terjadi jika dirinya membiarkan larut dalam kebasahan. Syukurnya hanya gerimis dan sampai di rumah dalam keadaan selamat.

Seperti pada hari itu, ia terpaksa menggunakan semuanya dalam kondisi basah.

Mau bagaimana lagi? Bolos sekolah? Itu tak ada dalam kamus hidup nya.

Membiarkan hari menuntut ilmu berlalu begitu saja, menurutnya sangat sayang.

Berbanding terbalik dengan remaja lain, jika itu yang terjadi pada siswa atau siswi lain, sudah pasti menjadi alasan untuk bolos sekolah.

Memang dirinya diciptakan berbeda dengan yang lainnya. Entah berbeda dalam status sosial, akhlak, kecerdasan, maupun paras.

Status sosialnya memang berbeda tetapi itu tak menutup kemungkinan bahwa kecerdasan dan parasnya memiliki nilai lebih.

Otaknya, Sungguh luar biasa. Dari kecil tak menempuh pendidikan apapun. Entah itu PAUD atau TK.

Tetapi begitu memasuki SD, seperti sudah terlatih saja. Semuanya lancar. Bahkan peringkatnya selalu nomor satu.

Hingga saat ini, ia sudah duduk di bangku kelas 12. Dan prestasinya masih sama. Berkat prestasinya juga yang menghantarkan dirinya bersekolah di sekolah elit itu.

Kecerdasannya begitu diandalkan, contoh nya sekarang, ia akan mewakili sekolahnya dalam lomba cerdas cermat.

"Anjani," Panggil wanita berhijab hitam lusuh dengan kebaya andalannya.

"Iya Ibu," jawab Anjani sembari menengok ke sumber suara.

"Belajar nya jangan terlalu keras nak, kamu juga perlu istirahat," Pituturnya.

"Gak papa bu, Anjani insha allah kuat. Ini demi nama baik sekolah Anjani, juga pasti buat ayah dan ibu," terang Anjani.

"Yasudah, yang penting kalau sudah capek jangan di paksa yah nak," ucap sang ibu.

"Doa ibu selalu menyertaimu." lanjut Ibu, lalu mencium dahi Anjani kemudian pergi.

Anjani ingin menangis saja rasanya, pasalnya sedari kecil hanya sang ibu lah yang memberi doa dan perhatian. Sementara sang Ayah?

Ayah nya justru seperti tak mengakui Anjani. Hidup nya benar-benar seenak dirinya sendiri.

Anjani selalu berdoa semoga  sang Ayah tersadar dan menjadi Ayah yang baik.

Tak sadar jika dirinya melamun, Anjani pun berdiri mengambil air minum.

Netra nya melihat jarum jam yang terus bergerak. Sekarang sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit.

Itu artinya Anjani sudah belajar dua jam lebih. Sepertinya waktunya istirahat.


***

Surya datang menyapa, sinarnya hangat. Sehangat senyum gadis bertas biru itu.

Wajahnya manis, tutur katanya lembut dan perilakunya sopan. Kecerdasan tak membuat dirinya sombong.

Maka dari itulah banyak yang menyukainya. Tetapi namanya juga hidup, pasti ada yang suka ada yang tidak.

Sebaik apapun manusia, pasti ada yang membencinya.

Anjani contoh nya, tidak semuanya menyukai dirinya. Ada, bahkan banyak yang iri terhadapnya.

Namun Anjani tak marah ataupun benci balik terhadap mereka.

Anjani mendoakan semoga mereka di ampunkan dosanya serta cepat sadar.

Begitu mulia hatinya, tak membenci apalagi membalasnya.

"Ibu, Anjani pamit berangkat bu," Pamitnya sopan.

"Iya nak. Hati-hati yah," Jawab sang ibu.

"Iya bu Asalamualikum,"

"Waalaikumussalam,"

Selepas berpamitan, Anjani terus melangkahkan kakinya sembari bersalawatan.

"Apa aku ke rumah Yara aja yah? Ajak berangkat bareng?" pikirnya.

Memang, jarak rumah keduanya tak terlalu jauh. Hanya berbeda beberapa RT.

Anjani sampai di depan rumah mewah bercat putih abu-abu milik sahabatnya.

Hidup Anjani dengan sahabat nya itu memang berbeda. Sepertinya Yara sangat bahagia, tetapi aneh nya selama menjadi sahabat Anjani, Yara tak pernah menceritakan kisah keluarganya.

Untuk ke rumah Yara saja, Yara selalu melarang. Entah apa yang di sembunyikan sahabatnya.

Maka dari itu, kini Anjani ke rumah Yara tanpa memberitahunya.

Anjani bingung, keadaan rumah Yara sepi. Seperti tak berpenghuni, Anjani menjadi takut sendiri.

Namun dengan keberanian yang telah di kumpulkannya Anjani mengangkat tangan untuk memencet bel.

Tangan nya menggantung ketika mendengar suara dari dalam.

Prang!

Sebenarnya Anjani tak berani mengintip, tetapi rasa khawatir sudah menghinggapinya.

Anjani mengintip jendela samping rumah Yara yang sedikit terbuka.

Anjani begitu kaget, melihat Yara, sahabatnya dalam keadaan mengenaskan.

"Yara....." ucapnya lirih.

Anjani tak tahu jika kehidupan sahabatnya itu tak seindah bayangan Anjani selama ini.





























Satu emot buat part ini.
Kabarnya gimana? Semoga sehat selalu.

Untuk info aja, aku lupa Mau kasih tau😁nama di dalam cerita ini aku samarin semuanya yah. Gak mungkin nama asli, nanti ada yang tahu😁

Oiya aku mau sedikit cerita nih sewaktu aku baru kenal wattpad, dan baca cerita pasti ada kata "vote dan komen" jujur, aku sangat terganggu dengan itu.

Tetapi setelah aku jadi Author, aku ngerasain apa yang orang nulis itu rasain.

Aku dulu pernah jadi pembaca gelap(gak vote gak komen) sebab aku gak tau caranya😁

Dan ketika udah tahu, aku selalu vote mereka.

Asal kalian tahu, itu bukan maksa atau apa, tetapi bentuk penghargaan.

Satu vote aja begitu berharga bagi Author.

Sekarang gini, kalau kamu udah berjuang gak dihargain gimana rasanya?

Pasti tahu bukan?


-From:Pecinta dinding jingga♡

Aku Ingin Ayah Solat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang