Four

397 76 5
                                    

"Anjani?"

Merasa namanya disebut, Anjani pun menoleh. Dan mendapati Yara disana, Yara tidak menggunakan hijab.

Sahabatnya itu memang hanya di sekolah saja ia menggunakan hijab. Jika diluar Yara akan seperti ini, sedikit terbuka.

"Eh Yara," jawab Anjani tersenyum kecil.

"Astaga Anjani, ini kan akhir pekan, kenapa masih kerja ajah Njan? Kamu gak kasian apa sama tubuh kamu?" lanjut Yara.

Bukannya menjawab Anjani justru menatap sahabat nya itu penuh selidik.

Bagaimana ia tidak curiga? Pasalnya Yara hanya menggunakan rok pendek diatas lutut dan kaos tipis transparan.

Belum lagi Yara datang dengan seorang pria yang sepertinya memiliki sifat keras.

Sebelumnya Yara tak pernah cerita tentang kedekatannya dengan siapapun, tetapi entahlah.

"Oh ya Njan, kenalin ini saudara aku, Rano," ucap Yara, sedikit menenangkan Anjani.

"Rano, kenalin ini sahabat aku, Anjani." Terang Yara kepada Rano kemudian ia mengulurkan tangannya.

Anjani tak membalas uluran tangan itu, ia hanya tersenyum kemudian mensedekapkan kedua tangannya di depan dada.

Seperti tahu maksud Anjani, Rano menarik kembali tangannya dan membalas senyuman Anjani.

"Yaudah Ra, aku masuk yah takut terlambat," jelas Anjani.

"Iya deh. Semangat yah kerjanya,"

"Ok,"

"Dia kerja disini?" tanya Rano tiba-tiba.

"Iya. Yaudah yuk ah masuk," ajak Yara lalu meninggalkan Rano yang masih berdiri entah memikirkan apa.

***

Senja datang menyapa, warna jingganya begitu memikat mata. Cahayanya menenangkan, sekaligus menyegarkan.

Menyegarkan jiwa yang mungkin mulai lelah dengan aktivitas hidupnya.

Seperti Anjani contohnya. Kini dia berada di perjalanan pulang, tugasnya menjadi pelayan dan tukang cuci gosok pakaian telah usai.

Sebelum pulang, tadi sempat menyempatkan untuk menabungkan uangnya di bank untuk jaga-jaga saja bilamana sang ayah mengambilnya lagi.

Ayahnya seorang pekerja konveksi, beliau menjahit pakaian di rumah yang di hantarkan oleh perusuh bosnya.

Namun, kelakuannya masih saja buruk. Terkadang, menjual mesin itu tanpa berpikir panjang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Beliau juga bekerja sebagai perantara jual beli barang. Contohnya, ketika ada seorang yang ingin  menjual motornya, maka ayah Anjani lah yang akan mempromosikan motor  itu.

Tapi naas, seringkali uang dari penjualan barang milik orang sering ia pakai sendiri.

Sehingga tak jarang jika banyak yang membenci juga dendam kepadanya.

Entah sudah berapa kasus yang ia torehkan di beberapa daerah, menjadikan anak dan istrinya pusing kelimpungan.

Sibuk memikirkan sang ayah, Anjani tak sadar jika dari tadi ia melamun.

Melamunkan hidup yang cukup kejam kepadanya. Tetapi, ia adalah gadis yang kuat.

Kuat seperti baru karang di lautan sana, bersinar seperti matahari di atas sana.

Tanpa bantuan siapa pun, tanpa uluran tangan siapa pun, berdiri sendiri dengan tulangnya.

Meskipun kerja banting tulang setiap hari, tak menghalangi prestasi di sekolahnya.

Sudah banyak piala yang ia bawakan untuk sekolahnya. Salah satu nya, piala olimpiade Matematika tahun kemarin sewaktu kelas sebelas.

Dan tahun ini, Anjani juga akan mengikuti lomba cerdas cermat tingkat nasional.

Seharusnya, ia tengah belajar giat hari-hari ini, karena lomba itu akan di laksanakan minggu depan.

Tetapi Anjani juga tak bisa meninggalkan kerjanya, dirinya tetap menyempatkan waktu belajar seusai solat tahajud setiap malam.

Kini, ia sudah tiba di rumahnya. Rumah kecil yang penuh arti hidup.

Tempat singgah perjuangannya dalam menyambung hidup. Seketika kaki berhenti melangkah tatkala melihat sosok manusia tengah tertidur lelap.

Posisi tidurnya tampak menyakitkan badan, tetapi sepertinya itu tak membuatnya membuka mata.

Anjani menatap sosok itu lekat-lekat. Ada hati yang teriris melihat guratan keriput di wajahnya.

Namun, kelakuan dan juga sifatnya menjadikan sosok itu di benci sebagian orang.

Yah. Sosok itu adalah Tino, ayah Anjani.

Tak ingin membangunkan sang ayah, Anjani melanjutkan langkahnya ke kamar tercintanya.

Mengambil baju dan handuk kemudian ke kamar mandi guna membersihkan diri.

***

Anjani bangun sedikit terlambat hari ini, dia begitu lelah dengan rutinitasnya di pekan kemarin.

Hari ini adalah hari senin, hari dimana selalu diadakan upacara.

Sukurlah, Anjani tak terlalu kesiangan sebab ia biasa bangun pagi-pagi buta.

Menggunakan seragam putih abu-abunya serta hijab yang menjadi penutup auratnya, ia pamit kepada orang tuanya.

"Anjani berangkat dulu yah, bu," pamitnya sopan.

"Hati-hati yah Nak. Semangat belajarnya." ucap Ibu, sementara sang Ayah hanya diam tanpa ekspresi.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam,"

***

Upacara berjalan dengan khidmat, tetapi tidak untuk Yara. Sedari tadi hanya mengeluh dan mengeluh.

Katanya panas, gerah, dan lain-lain. Biasa tidak berhijab, lalu berhijab karena kewajiban, maka seperti itulah.

Sekarang di tengah-tengah sana ada Pak Susilo, Kepala Sekolah SMA Ar-Rahim. Pidatonya lumayan panjang.

Upacara pun akhirnya selesai, menjadi kebanggaan tersendiri bagi para siswa-siswi.

Anjani dan Yara berjalan untuk kembali ke kelasnya. Anjani tak banyak bicara, sedangkan
Yara selalu.

"Ka Anjani, dipanggil ke ruangan BK," ucap seorang adik kelas perempuan.







Next?

-From:Pecinta dinding jingga♡









Aku Ingin Ayah Solat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang