// prolog.

102 15 6
                                    

Sudah tiga jam lama nya layar laptop itu menampakkan badan email yang masih menjadi draft. Sedang yang dilakukan si pemilik laptop hanyalah diam. Menatap kosong layar laptop yang tengah menyala. Segelas esspreso bahkan sudah tandas sejak dua jam silam.

Melihat keheningan pelanggan rutinnya, Reva mendengkus. Bukan kali pertama Reva menyaksikan gadis itu tercenung cukup lama. Sejak dari coffee shop ini dibuka hingga detik ini, gadis itu selalu datang hampir setiap hari. Untuk duduk di bangku samping jendela yang menghadap ke jalan raya. Itu tempat favoritnya. Jika kafe sedang ramai, gadis itu memilih take away dan beralih tempat menuju rooftop rekomendasi dari nya.

"Kenapa nggak buruan dikirim?" tanya Reva sembari meletakkan segelas esspreso yang utuh. Reva menarik kursi dan duduk diseberang gadis itu.

"Bingung." Jawab gadis itu singkat.

Reva menghela napas. "Byan berhak tahu, Bunga."

Gadis yang dipanggil Bunga itu menyesap pelan esspreso nya.

"Gue nggak yakin, Va.." ucap Bunga lirih.

"Gue jadi makin simpati sama Raihan." Kata Reva yang berhasil membuat Bunga mendongak kaget. "Saran gue, sebelum lo kabarin Byan lo harus kasih keputusan yang yakin ke Raihan. Sebelum semua terlambat dan semua justru gagal bahagia."

Bunga paham. Sangat paham malah.

Reva bangkit dari kursinya. "Pulang gih, udah malem. Besok flight pagi nggak sih?"

Bunga mengangguk, "Iya, jam enam."

Tangan Reva yang terulur disambut hangat oleh Bunga. Kedua nya berjabat.

"Gue doain yang terbaik buat lusa."

Lagi, Bunga tersenyum simpul.

Ya, lusa. Ia dan Raihan akan bertemu lagi.

BLU.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang