1. BLU.

86 11 4
                                    

Seseorang memanggilnya Blu.

Mayoritas orang —atau justru semua— memanggilnya Bunga.

Namanya Bunga Leandra Ulwa. Gadis yang mendedikasikan hampir separuh dari usia nya sekarang dengan mengoleksi sneakers berbagai warna dan bentuk. Dirumahnya akan jarang ditemui sandal apalagi heels yang biasanya mendominasi kehidupan para gadis pada umumnya. Blu berbeda. Gadis itu menyukai sneakers sejak usia nya belum genap sepuluh tahun. Dan sekarang gadis itu sudah berusia empat belas, terhitung dari sepekan silam.

Rambutnya yang panjang sepunggung jarang sekali Ia ikat. Blu sangat tidak suka berurusan dengan ikat rambut. Ia akan sangat membanggakan rambut indahnya yang tergerai. Tanpa takut lepek dan berminyak karena cuaca yang panas. Kata Blu, kalau memang sudah jatahnya dari Tuhan bagus, ya mau gimana-gimana tetap akan bagus.

Ah, Blu yang terlalu percaya diri.

Hidup hanya bersama Eyang dan mbak Sekar tak membuat Blu kesepian. Ia memiliki banyak teman di sekolah. Ia adalah tipikal gadis dengan kadar sosial yang tinggi, jadi mencari teman bukanlah suatu persoalan rumit baginya.

Dari sekian banyak teman yang dikenalnya, yang terdekat jelas ada. Namun, ada yang lebih dari dekat tapi tetap sebatas teman.

Namanya Byan.

Lelaki yang menemaninya sejak Ia duduk dibangku Taman Kanak-kanak. Dulu, Ia dan Byan bertetangga. Namun, ketika Eyang mengajaknya pindah rumah, dengan terpaksa Ia harus berpisah dengan Byan. Tapi, cerita ini tidak seperti kebanyakan novel yang memisahkan dua insane lalu mempertemukannya lagi kelak di masa mendatang.

BIG NO..

Ia dan Byan hanya terpisah kecamatan saja. Masih dalam kabupaten yang sama, yang membuat keduanya tidak mengalami kesulitan saat mau bertemu. Mari berterimakasih kepada kadar sosialnya yang bagus, dan kepada sifat Byan yang gas-able ketika diajak ketemu. Byan adalah pria terbaik yang belum pernah Ia temukan duplikatnya selama empat belas tahun ini.

Namun, yang Ia elu-elu kan dari Byan yang tak pernah mencoba mengelak ketika diajaknya bertemu sekarang tak lagi bisa Ia lakukan. Saat SMA tahun pertama, Byan memutuskan pindah sekolah. Sama sekali tak jadi masalah lokasi sekolahnya. Yang jadi masalah disini adalah sekolahnya itu sendiri. Yang melarang Byan —as student there— untuk pulang kerumah setiap hari. Paling cepat biasanya sebulan sekali pulangnya. Dan yang lebih jahatnya lagi, kesempatan pulang itu hanya dua hari satu malam.

Blu belum pernah setidakterima ini dengan keputusan Byan. Namun, kali ini Ia benar-benar tak habis pikir tentang Byan yang memutuskan bersekolah di Pesantren. Berbagai pertanyaan dan prasangka buruk jelas auto memenuhi benak Blu.

Gue gak akan ketemu Byan dalam satu minggu? Oh tidak, bahkan dalam satu bulan?

Membayangkannya saja Blu sudah tidak kuat. Tapi, bukan Byan namanya jika tidak bisa menenangkan Blu. Entah darimana Byan belajar, jika Blu tidak sadar seseorang itu Byan, pastilah Ia sudah jatuh hati sejatuh-jatuhnya.

Byan ishhh.

"Tenang aja, Blu. Lo bisa kok main ke Pesantren gue. Cuma ada syarat wajib nya sih."

Kemudian Byan mendekat, seraya mengatupkan kedua tangan ke sekeliling mulut lalu berbisik, "Syaratnya harus pake hijab"

Hah, yang benar saja Blu pakai hijab.

Dan kampret nya, Blu tiba-tiba saja tenang mendengar penuturan Byan ditambah tangan Byan menepuk puncak kepalanya seraya tersenyum simpul.

Byan kampret !


***

Thankyou for reading this one.

BLU.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang