19. Ada Apa Lagi?

7 2 3
                                    

Pembicaraan dengan Ayah semalam membawa suasana dingin ke meja makan pagi ini. Sepagian ini antara Ayah dan Byan tidak ada yang bertegur sapa. Hanya Abil yang sudah mulai mereda badmood nya. Bunda sangat paham atas ketidakterimaan yang ditunjukkan oleh Byan semalam. Bahkan dari sejak suami nya itu memberi tahu rencana yang luar biasa diluar dugaan Bunda, pun Bunda sudah bisa menebak akan bagaimana reaksi Byan dan Abil. Situasi ini tidak terlalu mengejutkan bagi Bunda.

"Mau sampai kapan diem-dieman?" tanya Bunda tepat sasaran.

Hari ini adalah hari Ahad. Ujian Akhir Semester yang baru saja berakhir seharusnya membawa kegembiraan untuk pagi di akhir pekan ini, namun naas memang pagi ini. Bunda menghela nafas nya kesal. Terlalu pagi untuk marah-marah, tapi tingkah Ayah dan anak itu sangat menjengkelkan.

"Yang mau perang nggak usah kasih makan. Ayo Abil, bantu Bunda beresin meja makannya."

Ya tentu saja Bunda bercanda, namun ternyata kedua pria nya itu sama sekali sedang tidak bisa membedakan mana bercanda dan mana yang serius. Bunda terkekeh renyah dalam hati saat melihat tangan suami nya yang mulai menjangkau entong nasi. Mana kuat kedua pria itu tidak sarapan?

"Kalau kepala mu sudah dingin, coba tolong dipikirkan lagi penawaran Ayah kemarin." Ayah membuka obrolan dengan Byan yang masih diam.

"Ada jadwal perpulangan sebulan sekali. Setiap hari sabtu siang setelah sepulang sekolah di minggu pertama setiap bulan kamu boleh pulang kerumah. Dan bakal balik ke pesantren hari Ahad malam." Bukan itu yang ingin Byan dengar dari lisan Ayah. Byan sedikit jengah.

"Ayah sama Bunda bisa rutin jenguk kamu di pesantren setiap bulannya. Bahkan kalau kamu minta kami jenguk, kami akan usahakan. Sekalian kami ajak Bunga nanti setiap bulannya buat ikut jenguk kamu di pesantren." Lanjut Ayah.

Dan mendengarnya membuat Byan sedikit tersentak, namun cepat-cepat Ia mengontrol kondisi wajahnya. Sangat tidak lucu jika tiba-tiba marah Byan redam hanya karena ucapan Ayah tentang rencana penjengukkan yang melibatkan Blu didalamnya.

Masih dalam mode akting. Byan mengangkat diri dari kursi.

"Bun, aku mau ketemu Blu di tempat biasa." Pamit Byan tiba-tiba.

Padahal sebenarnya janjian nya masih dua jam lagi. Bodo amat lah, yang penting Ayah mengira Byan masih marah. Byan sedikit lelah dengan sifat Ayah yang banyak menuntut. Selama hidup, Byan terbiasa mengikuti semua perkataan Ayah. Tapi kali ini saja, Byan ingin Ayah tahu jika Byan sudah cukup besar untuk menentukan pilihan hidupnya. Mau sampai kapan semua langkah Byan sesuai arahan Ayah?

"Nanti ajak aja Bunga nginep dirumah. Jangan lupa pamit sama Eyang nya ya, salamkan sekalian salam Bunda untuk mbak Sekar." Sebagai jawaban , Byan mengangkat jempol nya ke udara seraya meraih kunci motor yang digantung di gantungan dekat kulkas.

Mendengar suara pintu tertutup, membuat Bunda membuka suara tidak sabar.

"Ayah iih, harusnya tadi jangan langsung bahas itu lagi. Kan Byan jadi makin badmood.." gerutu Bunda.

"Iya Ayah nih nggak tahu timing amat sih, kasian pasti bang Byan bakal kelaperan nanti. Janjian sama Bunga aja masih jam sepuluh, mau ngapain coba dua jam nunggu?" Abil mensupport ucapan Bunda dengan terkekeh seru. Membayangkan abang nya bakal luntang-luntung entah kemana membuat perut Abil geli untuk menertawakan.

"Udahlah, kalian jangan mojokin Ayah gini dong.." balas Ayah. "Bun, tolong tambahin lagi telor balado nya ke piring Ayah." lanjut Ayah.

Ayah.. Ayah..

Untung Ayah..

Coba bukan, sudah Abil tarik rambutnya karena sebal.

Ayah memang pribadi yang tampak bodo amat dan sifat Ayah satu itu turun ke Byan. Bagi orang asing, jika melihat Ayah dan Byan pasti first impression nya tidak akan jauh-jauh dari dingin dan cuek. Padahal sebenarnya baik Ayah atau Byan, keduanya sama-sama hangat. Hanya saja hangatnya itu tidak ditujukan untuk banyak orang.

BLU.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang