13. Kedatangan Eyang

27 6 4
                                    

Tidak terasa sudah jalan seminggu lamanya liburan kenaikan kelas. Ada yang sedikit berbeda dengan liburan Blu kali ini. Biasanya, sesibuk apapun kedua orang tua Blu bekerja tidak pernah terlewat momen merayakan keberhasilan ujian Blu untuk naik kelas. Dan yang kali ini Blu harus berusaha merelakan momen tersebut hilang untuk selamanya. Blu sering kali mengadu pada malam bagaimana Ia begitu merindukan Papa dan Mama. Di beberapa masa, Blu terpaksa memendam banyak pertanyaan dalam benaknya karena Ia merasa tidak memiliki siapapun untuk membantu Blu menjawabnya. Termasuk Byan.

Ah, iya. Bicara tentang Byan, sedikit informasi bahwa lelaki menyebalkan itu baru saja menerima pengumuman pendaftaran SMA favorit. Blu sendiri sebenarnya sangat yakin jika Byan akan diterima di SMA favorit, tapi Byan sendiri malah justru minder dengan kemampuannya. Mungkin sebenarnya Byan tidak minder, hanya saja Ia bersikap seperti itu sebagai formalitas saja agar tidak sombong. Byan bukan orang dungu yang tak sadar akan kemampuannya.

Sebuah suara menginterupsi keheningan malam Blu. Dengan sedikit malas Blu meraih ponsel yang diletakkannya diatas kasur. Keningnya langsung berkerut membaca nama penelepon. Ada perasaan tidak enak yang berkecamuk dalam pikiran Blu. Pasalnya orang ini tidak mungkin meneleponnya jika bukan ada sesuatu yang teramat sangat harus dibicarakan.

"Halo.." Blu membuka suara. Tanpa ada basa-basi, si penelepon berhasil membuat Blu sedikit mendengus sebal.

"Besok?" balas Blu dengan malas.

"Oke." Dan telepon pun ditutup.

Dari dulu Blu tidak mengetahui apa alasan keluarga Papa begitu tidak akur. Mungkin karena Blu masih terlalu kecil, membuat pikirannya sama sekali tidak terbebani dengan kasus keluarga Papa yang sebenarnya rumit. Baru-baru ini saja Blu mulai paham. Blu rasanya ingin banyak berterima kasih pada om Krisna yang berkenan menceritakan sedikit kisah keluarga Papa secara garis besar.

Benar. Warisan Eyang kakung lah yang menjadikan keadaan keluarga Papa tidak lagi harmonis. Terlebih saat perusahaan Eyang hampir mengalami kebangkrutan. Tidak ada satupun anak Eyang yang ingin mengambil alih perusahaan rusak itu. Hanya Papa lah yang akhirnya —mau tidak mau— menanggung beban perusahaan Eyang. Papa sendiri sebenarnya sudah memiliki usaha kecil-kecilan yang memang Papa rintis sendiri sejak kuliah. Namun, karena demi menyelamatkan perusahaan Eyang itulah, Papa memutuskan untuk menutup usaha yang diminatinya.

Bukan orang kaya jika tidak banyak sandiwara, begitulah sekiranya kata skeptis yang beredar di masyarakat. Dan ternyata hal tersebut terjadi juga di keluarga Papa. Perusahaan yang dikata rusak itu ternyata tidak benar-benar rusak. Hanya alibi Eyang kakung saja yang ingin mencari penerus perusahaan properti yang besar itu. Semua terkejut, termasuk Eyang putri. Dari sinilah masalah-masalah perlahan bermunculan. Tidak ada lagi yang tulus bersaudara dengan Papa karena mengetahui bahwa Papa adalah penerima tunggal aset perusahaan. Blu tidak paham, intinya semua karena obsesi uang. Begitulah cara kerja dunia, bukan?

Dengan langkah malas, Blu menghampiri kamar mbak Sekar yang berada di ujung lorong lantai dua rumahnya. Sudah berkali-kali Blu meminta mbak Sekar pindah kamar, namun gadis jawa itu dengan sopan nya menolak tawaran Blu. Blu memang pantas kagum dengan attitude mbak Sekar.

"Mbak Sekar... Aku masuk yaa.." Ucap Blu seraya mengetuk pintu.

Terdengar balasan persetujuan dari mbak Sekar membuat Blu langsung menekan engsel untuk membuka pintu. Melihat mbak Sekar yang sedang sibuk melipat-lipat baju membuat Blu sontak duduk bersimpuh didekat tumpukan baju yang belum terlipat.

"Besok masak yang banyak ya, mbak." Pinta Blu.

Mendengar pinta majikan kecil nya itu membuat alis mbak Sekar bertautan penasaran, "Mau ada tamu, non?"

BLU.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang