Perubahan mungkin akan terjadi tanpa kita sadari.
***
Karena di jam pelajaran terakhir kelas mereka mendapatkan free jadilah semua berkoar-koar. Ratih mendatangi Azwa yang dari tadi hanya diam. Diamnya ini bahkan tidak sepert biasa. Ini menggambarkan seperti sedang menyimpan suatu masalah yang tidak bisa di selesaikan.
"Wa." Ratih duduk di sebelahnya.
"Lo sakit?" Azwa menggeleng dua kali. "Terus? Kok lo lesu gitu keliatannya. Berantem sama Arga, lo?"
Azwa mendelik berlagak tidak tahu. Ia memang tidak tahu alasan yang tepat buat kenapa Arga marah. Karena waktu itu ia bilang kalau Arga jahat 'kah? Itu tidak mungkin, sebab ia sering mengeluarkan kata itu di depan Arga. Karena ia bilang Arga mencabulinya pada abangnya 'kah? Apa mungkin, ucapan yang dilontarkan Dion pada Arga yang membuat cowok itu menjauhinya?
"Kok malah bengong sih?" Ratih mengibaskan tangannya. Lagi-lagi Azwa hanya menggeleng.
"Lo yakin gak mau cerita sama gue, kalau lo punya masalah? Gue tau banget kok kalau lo pasti punya masalah," cerca Ratih.
Azwa pun menjadi bingung. Apa ia harus cerita pada Ratih? Tapi, dari mana harus ia ceritakan? Ini begitu berbelit dan tidak masuk akal menurutnya.
Tidak lama bel pulang berbunyi. Semua murid riuh berhambur keluar kelas.
"Yaudah kalau lo belum mau cerita. Tapi kalau lo udah mau cerita gue siap kok. Gue pulang duluan yah, mau bareng gak?" Azwa menggeleng untuk kesekian kalinya. Ratih hanya bisa menghela pelan dan berjalan keluar kelas.
Untuk hari ini, harinya begitu murung. Setelah waktu pulang sekolah tiba, ia tidak langsung pulang. Azwa menunggu semua orang di kelasnya pulang termasuk Arga.
Setelah ia di rasa kelas sudah kosong, barulah ia keluar kelas. Untuk kedua kalinya, Azwa kembali lagi ke rooftop entah kenapa pikiranya menyuruhnya untuk ke sana.
Ia berjalan perlahan menuju pembatas rooftop. Udara sangat segar dan menyejukan, padahal terik matahari begitu menyengat.
Berdiri di pinggir rooftop. Ia termenung.
"Tuhan ... Apa Kau ingin mengambil kebahagiaanku lagi?" lirihnya seraya menatap langit biru.
Ia menghela berat, menahan air mata yang ingin keluar. "Apa tidak cukup dengan mengambil Ayahku saja?"
"Apa Kau ingin mengambil seseorang yang aku cintai secara diam-diam selama ini?" ia mulai tidak kuasa menahan tangisnya.
"Kau merebut kebahagaianku dengan cara mengambil laki-laki yang aku cinta, Tuhan?"
"Waktu itu ... " ia menunduk, tangisnya kian menjadi, air matanya semakin deras mengalir. "Kau sudah mengambil ayahku, laki-laki kebangganku, bahkan waktu aku kecil."
"Sekarang ... Apa Kau ingin mengambil Arga dariku, Tuhan?" ia mulai menggila di sana.
Rambut yang acak-acakan terkena hembusan angin yang cukup kencang. Mata yang merah sebab tangisnya. Ia meruntuki nasibnya sendiri sekarang.
"Dan nanti ... Apa Kau ingin mengambil abangku?!"
"Kalau begitu, kenapa tidak sekalian Kau ambil diriku saja?! Aku bahkan hampir gila dan tidak bisa hidup tanpa mereka," tuturnya penuh sesal.
Hening. Hanya terdengar suara isak tangis sekarang.
Ia semakin tidak kuat menahan tangisnya sendiri. Bahkan untuk saat ini, laki-laki yang selalu melindunginya itu tidak datang untuk mencari bahkan memarahinya ketika ia berada di atas sini.