29

275 143 1.5K
                                    

Kali ini Azwa sedikit kesiangan. Untung saja masih ada sepuluh menit sebelum masuk kelas dan ia sudah berada di sekolah.

Azwa berjalan menelusuri koridong dengan disambut tatapan tidak menyedapkan.

Azwa mencoba santai saja seperti biasa. Tidak memperdulikan sekitarnya yang hendak berbicara apa tentangnya. Toh ini hidupnya dan hanya orang yang tidak punya otak yang selalu sibuk mengurus hidup orang lain.

Ia masuk ke kelasnya dan secara tidak sadar Ratih berada di kursi milik Arga.

Azwa menoleh ke pojok tempat Arga duduk saat itu. Benar saja, cowok itu masih setia duduk sendiri di situ tanpa menghiraukannya.

Kalau masih seperti itu, untuk apa Arga datang ke rumahnya waktu itu? Dan dengan santainya cowok itu bilang kalau ia calon suaminya kelak? Sekarang saja ia tanpa segan sudah bersama cewek lain.

"Masih berantem?" tanya Ratih ketika Azwa sudah duduk sigap dis sebelahnya.

Azwa mengangkat bahunya sekilas.

"Gak baik kalau gini terus, Nas." Ratih mulai mengomen.

"Harus apa?" jawab Azwa sinis.

"Kalau lo merasa diri lo salah, cepat minta maaf dan-"

Azwa menghelak ucapannya. "Sudah."

Ratih mengerutkan keningnya. "Sudah minta maaf?"

"Responnya sangat menyakitkan."

Ratih menghela pelan. "Dan lo nyerah gitu aja? Setelah kalian sudah bersama bareng bertahun-tahun?" Ratih memang tahu akan hal tentang Azwa dan Arga. Azwa yang menceritakannya.

"Gue ... Gak paham tentang penyelesaian masalah. Makanya kalau matematika gue selalu nyerahin ke elo," sahutnya apa adanya.

Ratih ingin menertawakannya namun ia sadar bahwa saat ini adalah hal serius. "Terus, lo bakal diam aja?"

"Gue capek."

"Lo ca-"

"Azwa!" pekik seseorang dari ambang pintu.

"Lo dipanggil kepala sekolah," ujar Fero, sekilas ia melirik Arga yang menatapnya sinis ketika memanggil nama cewek itu.

Azwa pun berjalan mengikuti Fero.

Ia menatap bingung ke sekelilingnya. "Fer, ini 'kan toilet cowok 'kan ya?" tanyanya lugu.

Terkejut. "Lah lo ngapa ngikut?"

Azwa mengidik. "Gue kira lo antarin gue ke ruang KepSek."

Fero menoyor pelan kening Azwa. "Manja lo."

Azwa mendengus lalu meninggalkan Fero di toilet cowok. Ia berjalan gontai menuju ruang kepala sekolah. Entah apa yang membuatnya terpanggil kali ini. Bahkan ia tidak sedang melakukan hal aneh di sekolahnya.

Tidak lama ia pun sampai di depan ruang kepala sekolah. Ia mengetuk pintu itu pelan.

"Masuk." setelah mendengar sahutan dari dalam ia pun masuk dengan sopan. "Silakan duduk."

"Ini surat kamu," ucap pak Ahmad selaku kepala sekolah.

Azwa mengerutkan keningnya bingung menatap surat itu. Ia mengambil suratnya lalu membaca.

Terkejut. "Yakin buat saya, Pak? Saya gak buat hal macam-macam loh, Pak." Ia tidak percaya surat ini.

"Iya itu milikmu."

***

Di kelas. Ratih berganti duduk di sebelah Arga. Biarkan orang-orang menatapnya aneh, tapi ini demi sahabatnya.

Arga tidak sadar akan kehadiran Ratih, in karena ia menghadap keluar jendela dan telinga yang di sumpal earphone.

Ratih menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Menetralkan detak jantungnya. Ia takut kalau Arga akan mengamuk nanti dan dilihat dari wajahnya saja Arga sedang menyimpan dendam.

"Arga." Ratih mengetuk dua kali pundak Arga.

Cowok itu menoleh. "Apa?"

Ratih sedikit tersentak. "E-bisa gak itu tatapannya gak usah gitu? Takut gue." Ia sedikit takut mengatakannya.

Arga mendehem mencoba netral saja. Ia menatap Ratih santai sekarang. "Ngapain lo ke sini?"

Tatapannya santai, tapi nada bicaranya masih dingin.

"L-Lo, ada masalah apa sama Azwa?" tanya Ratih terbata.

"Bukan urusan lo."

"Haruskah kalian saling diam gini, sedangkan kalian pasti nyimpan rasa bersalah dan tidak tega, bukan?"

Arga tertohok. Ratih benar, tidak seharusnya mereka saling diam dan ia pun sekarang sangat merasa bersalah dan tidak tega jika melihat Azwa seperti kesepian itu.

"Memang gue yang memulai dan gue ingin mengakhiri, tapi Nanas sendiri yang ingin melanjutkan. Gue bisa apa?"

Ratih terdiam. Mencoba menelaah ucapaan Arga barusan. Arga yang mulai? Apa maksudnya?

"Dan lo, diam sambil mengikuti alur yang dibuat Azwa? Ini gak akan berguna sampai kapan pun, Arga." Ucapan Ratih mulai menajam.

"Gue tau."

Ini bukan Arga yang Ratih kenal sekarang. Arga sangat-sangat berbeda. Kenapa cowok itu seolah tidak akan memperjuangkan Azwa lagi? Dulu saja ia selalu memprioritaskan Azwa.

Ratih sedikit kesal pada Arga sekarang. Ini salah satu alasan yang membuat Ratih tidak menyukai cowok. Mereka pasti cuma akan berjuang di awal dan di akhir malah cewek yang akan berjuang.

"Gue ingatin lagi, Ga. Lo bakalan nyesal kalau sampai Azwa sudah di pelukan orang lain."

"Gak akan."

Ratih menyerngit. 'Gak akan' yang di maksud Arga itu apa?

"Gue hanya sedang menyelesaikan masalah. Dan, Azwa akan selalu jadi milik gue."

Semua yang diucapkan Arga membuatnya bingung. Pertama, Arga secara tidak langsung ingin berhenti. Kedua, Arga bilang Azwa akan selalu menjadi miliknya. Yang mana yang benar?

Ratih menjadi bingung dengan pola pikir cowok yang satu ini. Ia menyudahi perbincangan yang membuatnya pusing ini.

Maaf, Wa. Bukannya gak mau nolong, tapi gue gak paham apa awal masalah kalian. -batinnya.

Ratih berdiri dan menjauh dari tempat Arga. Kembali ke tempatnya semula di samping Azwa dan menunggu sahabatnya itu datang membawa kabar. Jika ia mau menceritakannya.

***

Menurut kalian, Arga atau Azwa yang berhenti berjuang? Atau secara bersamaan mereka akan saling menjauh? Atau membaik seperti dulu?

Ini gantung gak sih?

Mau lanjut? Iyak dong, kan bentar lagi mau tamat:' masih ada beberapa chapter lagi sih wkwkw.

Btw maaf ya di awal gak ku bikin quotes:v lagi malas mikir:v

Tunggu chapter selanjutnya yaa...❤

Being One Is Complicated Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang