Definisi laki-laki yang selalu salah itu ... Memang benar adanya.
***
"Arga?"
Ia sempat terkejut melihat gadis itu. Ia seperti pernah melihatnya, tapi di mana?
"Iya?" jawab Arga seadanya.
"Arga 'kan?"
"Iya, kenapa? Dan ... Siapa ya?" tanya Arga ragu.
"Sayang!" gadis itu menoleh saat ada suara yang sangat ia kenal.
"Eh Dion, ini Arga 'kan? Yang kata kamu calon suaminya Azwa?" kata gadis itu membuat Arga dan Dion terbelalak.
"Abang katanya mau pulang?" Dilla sudah merengek sekarang.
"Iya sebentar."
"Sayang, jangan ngomong gitu!" tegur Dion. "Iya, itu Arga," bisiknya.
"Kenalin Bro, ini Pasya, pacar gue," Ucap Dion dengan wajar datar.
Bro? Kata itu yang biasa diucapkan Dion dan itu tanda pertemanan cowok itu. Jadi, Dion udah maafin Arga?
Arga tersenyum kaku.
"Udah yuk, kita masuk."
Pasya mengangguk seraya melambaikan tangannya pada Arga. "Sampai ketemu lagi, calon adik ipar."
ADIK IPAR?!
Arga melongo mendengar ucapan gadis itu. "Abang ayok! Aku mual nih!" Dilla kembali mengerek.
"Hah? Mual?! Dihamilin siapa Dek? Teman kamu itu?" Sosor Arga dengan berjeret pertanyaan, antara khawatir atau apa.
Dilla memukul abangnya. "Aku kekenyangan, ih!"
Jelas saja gadis kecil itu kenyang, tadi Arga memesankan es krim ukuran jumbo untuk adiknya itu. Abang yang tidak tahu diri memang, memberikan anak kecil es krim dengan ukuran jumbo, bahkan kalau ia sendiri yang makan pun mungkin hanya termakan seperempat.
"Ih, iya, ayok pulang." Arga menaiki motornya dan mulai menjalankan.
Tidak seperti tadi, sekarang di perjalanan mereka saling bungkam. Arga fokus mengendarai dan Dilla fokus menahan muntah. Andai saja Dilla tidak kekenyangan ... Pasti gadis itu akan mencerocos seperti tadi.
Tidak begitu lama di perjalanan, mereka pun sekarang sudah sampai di rumah. Dilla turun dari motor dan lari sekencang mungkin masuk ke dalam. Gadis itu sudah tidak tahan ingin muntah.
Arga menduga ... Jika ia masuk dan bertemu mamahnya nanti pasti ia akan kena omel masalah Dilla.
Setelah menstandarkan motornya, ia pun masuk ke rumah dengan mental yang sudah sangat kuat sebagai benteng dari omelan sang ratu.
"ARGAA!!" Nah, kan?! Teriakan mamahnya sudah berkali-kali keluar.
Arga berjalan santai ke arah Listi. "Udah siap, Mah. Silakan."
Listi mengangguk. "Kamu itu! Udah berapa kali Mamah bilang, kalau belanja adek es krim jangan kasih yang seukuran buto ijo!"
"Tapi dianya mau aja kok," sahutnya.
"Dia mah, yang namanya anak kecil pasti mau terus kalau masalah es krim!" Arga mangut-mangut saja.
"Tadi nyahut! Sekarang diem?! Dengar gak sih kalau dikasih tau orang tua tuh?!" geram Listi.
Nah, kan? Sepertinya definisi lelaki yang selalu salah itu benar adanya. Arga kadang bingung harus apa dan ngapain kalau sedang diomelin begini.
Mau nangis ... Udah waktu itu. Mau balik marah ... Durhaka banget. Mau mensahut ... Udah barusan. Mau diam aja ... Udah juga, dapat extra omelan malah.
Arga menarik napas panjang lalu memberanikan diri menatap lurus mamahnya. "Jadi begini, Mamahku yang tersayang, tercinta, termanis, terketjeh, ter-uwu, ter-aduhaay, ter-ter-ter-tersemuanyalah! Aku tuh lupa. Sekian, terima kasih. Aduh!" jitakan keras langsung mendarat di kepalanya.
"Enak banget kalo ngomong!"
"Ya emang," sahutnya pelan bahkan sangat pelan.
"Mamah," panggil Dilla lirih, wajah gadis itu terlihat pasi.
"Iya sayang." Listi langsung memeluk dan menggendongnya.
"Awas aja kalo sampai ngulangin lagi!" Listi meninggalkan Arga seraya memberikannya pelototan tajam.
Arga menghela kasar. "Bosen gue lama-lama jadi cowok," cibirnya sambil berjalan menuju kamarnya.
***
"Kok kamu gak bolehin aku ngomong gitu tadi, sih?" protes Pasya.
"Ya ... Ada alasannya," jawabnya singkat.
"Apa?" tanyanya sambil menjilat es krimnya.
Mereka sedang berada di kedai es krim yang sama dengan Arga tadi, tapi saat ini Pasya tidak diberikan es krim ukuran jumbo seperti Dilla tadi, yaa. Ingat itu.
"Kasih tau gak, ya?" pikir Dion sembari menggoda pacarnya yang cantik itu.
"Ih cepetan! Jangan bikin orang kepo, bisa gak sih?" geramnya.
"Enggak bisa!"
"Dih! Malas ah!"
"Yah, gitu doang marah," Goda Dion. Ia mencolekan es krim ke pipi Pasya.
"Apaan sih!" Pasya menepis tangannya, Dion terkekeh melihat tingkal lucu sang pacar.
"Jangan marah dong," bujuk Dion, ia tidak tahan jika Pasya marah padanya.
"Makanya ... bagi tau, cepat!"
Dion menghela pelan. "Mau beli novel baru gak?" alibinya.
Pasya membelalakan matanya lebar. "Ayok!" gadis itu sudah berjalan duluan ke mobilnya, ia sudah lupa kalau dirinya sedang marah.
Dion mendecih. "Cih! Giliran novel aja gas terus." setelah itu ia berjalan menyusul Pasya.
"Lama banget."
Kan mulai lagi, batinnya.
Dengan cepat Dion masuk ke dalam mobilnya dan mulai melaju kencang. Ia sempat melirik ke arah Pasya, terlihat wajah yang berseri-seri karena mau membelo novel baru.
Dan sekarang mereka sudah sampai di sebuah toko buku. Pasya melenggang masuk tanpa menghiraukan Dion. Ini sudah biasa bagi cowok itu. Setelah itu Dion ikut menyusul.
Pertama masuk ia tidak melihat batang hidung gadis itu, karena gadis itu sedang menjelajah. Dion ikut mengelilingi toko buku berupaya mencari Pasya, cewek itu sangat gesit kalau sudah berada di mall dan toko buku.
"Sayang." Terkejut. Dion menghadap kebelakang dan tampak seorang gadis cantik di sana.
"Ke mana aja sih?" tanya Dion mendecak.
"Aku beli tiga novel ini, ya?" Dion menganga melihat buku yang dipengang pacarnya itu.
Buku-buku itu terlihat sangat tebal,hampir setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan tentu harganya lumayan mahak.
"Yah, yah, yah, mau 'kan?" Pasya mengeluarkan jurus jitunya, memasang wajah puppy eyes karena dengan itu Dion pasti akan luluh.
Dion menghela berat. "Janji maafin gue?" Pasya mengangguk cepat sembari tersenyum manis.
Dion tersenyum lalu mengecup sekilas dahi gadis tersebut. "Ayok kita bayar."
Dasar pasangan unik!
***
Maaf yee kalau B atjah:') ya emang di sini sengaja dibuat konflik ringan:'
Buat kalian, jika suka dengan cerita ini jangan lupa kasih bintang yaa kalau belum.
Yuk lanjut! Bentar lagi ending loh, huhu:')