Ada dua pilihan yang harus lo pilih salah satu. Dan apa yang lo pilih, maka itu akan menjadi tanggung jawab lo.
***
Azwa menggeleng cepat. "Gue gak bisa."
"Kenapa-"
"Kenapa lo bilang?!" Azwa menyela ucapan Fero. "Asal lo tau, waktu itu Arga sering bilang kalau gue itu milik dia, CUMA MILIK DIA! Tapi lo lihat sekarang?! KENAPA SEMUDAH ITU DIA MELUPAKAN UCAPANNYA SENDIRI?!"
"Ya mungkin waktu itu memang gue yang salah. Gue gak balas perasaanya bahkan bisa di bilang gue mengombang-ambingkan perasaannya, mempermainkan perasaan dan perhatiannya. Tapi di balik itu semua ... Sebenarnya gue sangat-sangat sayang, bahkan gak mau kehilangan!" Fero hanya menatapnya nanar, ia tidak berani berkutip.
"Gue salah! Dan sekarang ... Arga memang berhak mendapatkan yang lain dari pada gue," lirihnya berusaha tegar ketika mengucapkan itu, padahal hatinya sendiri memberontaknya dan ingin mengatakan yang sejujurnya.
Menjadi seseorang yang terlihat baik-baik saja memang tidak mudah. Bagi Azwa, harus berapa lapis topeng kebahagiaan buatnya agar bisa menutupi kesedihannya ini.
"Wa, bisa kita bicarakan dengan baik-baik."
"Tapi dia dingin! Bahkan kek gak ngizinin gue ngomong panjang lebar ke dia," ujarnya sendu.
"Gue bilang, gue akan mundur kok. Gue hanya takut terlalu bahagia dengannya, karena gue takut kalau sampai Tuhan merebutnya dan itu akan membuatku sakit sesakit-sakitnya. Gue akan belajar, belajar gak bergantung sama dia."
Fero berusaha mencermati semua ucapan cewek itu. Ia sebenarnya masih tidak paham apa akar dari masalah ini.
"Dan maaf, Fero. Gue udah nolak lo waktu itu. Gu-gue ... " Azwa memberi jeda, ia kembali terisak. "Gue hanya ingin mengikuti apa kata Arga waktu itu. Arga udah baik banget sama gue, dan gue ... Gue seperti orang bodoh yang gak tau cara berterima kasih atas kebaikannya selama ini."
"Dari dulu, semenjak ayah gue meninggal ... Arga, cuma Arga yang bisa ngertiin perasaan gue. Tapi gue? Gue apa?! Gue sama sekali gak bisa ngertiin perasaannya." Fero mendengarnya begitu terharu, saat ini mungkin ia membiarkan saja gadis itu mengungkapkan semua ini hatinya.
"Gue terlalu jahat untuk Arga, benar 'kan?" Azwa menatap Fero dengan wajah lugu namun ia sedang mengalami depresi. Mungkin, ia mengingat kembali traumanya dulu.
Fero menggeleng. "Lo baik. Baik banget malah. Gue paham kalau lo susah untuk mengerti perasaan orang. Tapi, dengan lo yang sudah menuruti semua ucapan dari Arga, yang mengarahkan kebaikan untuk lo, itu sudah sangat baik, Wa. Dengan itu buktinya lo bisa buat Arga bahagiakan selama ini?"
Fero sendiri bingung pada dirinya saat ini. Di sisi lain ia menginginkan Azwa untuk jadi miliknya. Namun, di sisi lain juga ia mendukung Azwa untuk tetap bersama sahabatnya itu.
"Lo butuh istirahat. Ayok gue antar pulang," ajak Fero, ia tidak tahan melihat seseorang yang ia sayangi ini menangis.
Beruntung menjadi Azwa. Banyak yang menyayanginya bahkan mencintainya. Tapi ia tidak sadar, karena ia terlalu menutup diri.
***
"Jadi, sekarang lo udah benar-benar melupakan dia?"
Arga hanya diam dengan wajah datarnya. Muak dengan semua keadaan ini. Ia tidak tahan sebenarnya, tapi entah kenapa setiap ia ingin berbicara atau mendekati Azwa ... Semua ucapan Dion waktu itu terus menghantuinya, seakan mengingatkannya agar menjauh.
"Baguslah. Kalau lo mau, gue bisa bantu lo buat bener-bener ngelupain dia."
"Bisa diam gak lo?!" pekik Arga.