17. Papa

2K 130 0
                                    


_________

Mungkin kata kata tak lagi bisa menggambarkan betapa berartinya lelaki paruh baya itu di salah hidupku. Papa, I don't know how I would have been, without you all this time

~Aidil.

__________

Aidil dan Zahra menghampiri Andika yang tengah duduk sendirian di luar ruangan, sepertinya sang Papa tengah di periksa oleh dokter di dalam, sehingga Andika tidak boleh masuk dan menemani sang Papa.

"Andika, Papa mana?" tanya Aidil getir, suaranya parau menahan kekhawatirannya.

"Papa lagi di periksa Bang," jawab Andika.

"Siapa yang nanganin?" Aidil berharap dokter yang menangani sang Papa adalah dokter yang berpelangaman, yang mampu menyembuhkan Papanya.

"Dokter Broto, Bang."

"Alhamdulilah," Aidil mengucap syukur seketika, pasalnya Dokter Broto adalah Dokter pembimbing koasnya.

Aidil mengacak rambutnya gusar, kegelisahan menghampirinya saat ini. Dulu hal ini juga pernah ia rasakan saat almarhumah Mamanya masuk rumah sakit.

"Papa bakalan baik baik aja kok, kamu tenang ya," Zahra mengelus punggung Aidil, mencoba menenangkan suaminya saat ini. "Duduk dulu," ajak Zahra.

Zahra duduk di sebelah Andika, yang sedari tadi tak henti hentinya berdzikir dan memhonong pertolongan dengan cara berdoa.

"Adek udah makan?" tanya Zahra.

Andika menoleh, kemudian tersenyum. "Masih kenyang kok Kak."

"Nanti kalau keadaan Papa sudah pasti, kakak temenin makan di kantin ya."

Andika mengangguk.

Menit selanjutnya Dokter Broto keluar dari ruangan pemeriksaan. Andika, Zahra dan Aidil langsung berdiri menghampiri dokter Broto.

"Dok, gimana Papa saya?" tanya Aidil.

"Lho, jadi pak Bahtiar itu Papa kamu Aidil?" tanya Broto baru tahu.

"Iya dok, jadi bagaimana keadaannya?"

Dokter Broto justru terkekeh. "Ayah kalian baik baik saja, sepertinya dia hanya kecapekan dan kurang minum, dia dehidrasi."

"Ya Allah, Papa," ujar Andika. "Emang dia tadi pagi main golf, dan dia bilang ke saya kalau dia puasa sunah hari ini."

Aidil melongo menyaksikan apa yang di jelaskan dokter Broto dan adiknya. Hampir saja jantungnya mau copot saat mendapat berita Papanya sakit, ternyata Papanya hanya kelelahan.

"Alhamdulilah, makasih ya dok," ujar Aidil.

"Sama sama, kalau begitu saya permisi dulu," pamit dokter Broto kemudian melengos pergi.

Aidil, Andika dan Zahra pun masuk ke dalam ruangan tempat Papanya berada saat ini.

******

Bahtiar tertawa tak percaya saat ini, bahkan besannya saja datang untuk melihat keadaannya di rumah sakit saat ini. Apakah berita kalau dirinya sakit se populer itu?

"Maaf ya, sudah membuat khawatirkan," ujar Bahtiar terkekeh.

"Ya tidak apa apa Pak, kami inikan sudah keluarga bapak jugak," jawab Gufron terkekeh.

Aidil menyimak pembahasan mereka, Aidil bersyukur karena Zahra sudah kembali kepadanya. Kalau saja tidak, mungkin dirinya tak tau apa yang terjadi kepada Papanya yang tengah sakit.

"Assalamualaikum," Sorang gadis dengan rambut tergerai panjang masuk ke dalam ruangan tempat Bahtiar di rawat. Itu Marisha, teman satu club Matematika Andika.

"Marisha," ujar Bahtiar tersenyum.

"Selamat siang Om, ini saya bawakan buah segar ya," ujar Marisha  tersenyum, kemudian menyerahkan bingkisan buahnya kepada Zahra.

"Aduh, jadi ngerepotin," ujar Bahtiar.

"Andikanya mana Om?" tanya Marisha.

"Gue di sini," jawab Andika terkekeh, melihat Marisha yang tak menyadari keberadaan Andika yang tengah duduk di atas Sofa.

"Ya ampun, kurusan lo Sampek gak kelihatan," kekeh Marisha, kemudian menyusul Andika duduk di atas sofa.

Menit selanjutnya, knop pintu kamar rawat inap kembali terbuka, memperlihatkan seorang gadis berhijab. "Assalamualaikum, Naya boleh masuk gak?" tanya gadis itu polos.

"Naya, ayo masuk," ujar Zahira, Ummi Zahra.

Naya adalah salah satu murid Zahira di majelis mengaji kawasan Bandung sekitar, Naya juga mengenal baik sosok Zahra selama ini.

"Ini Naya temennya Andika ya?" tanya Bahtiar.

Naya tersenyum. "Iya Pak."

"Panggil Papa saja," ujar Bahtiar.

Spontan mata Andika membulat, menatap Papanya sadis.

"Hayo, Andika. Jadi cowok jangan play boy dong," kekeh Zahra, menggoda adik iparnya.

Naya menoleh ke arah Andika yang tengah duduk di sebelah Marisha. Menyadari tatapan Naya kepadanya, Andika langsung buka suara. "Aku sama Marisha temen doang kok."

Semua orang sontak tekekeh mendengar jawaban Andika.

Nadya tersenyum, kemudian berjalan mendekati Zahra. "Kakak, Naya kangen," rengek Maya kemudian memeluk Zahra.

"Kapan kapan Naya main ke rumah Kakak, dong."

"Naya gak tau alamatnya," ujar Naya.

"Minta di anterin Andika aja," saran Zahra separuh meledek.

"Iih, kakak," Naya tersipu malu.

Di satu sisi, Marisha hanya diam melihat canda gurau antara keluarga Andika dengan sosok Naya. Marisha adalah teman Andika sejak kecil, kemudian pendidikan Andika menghalangi mereka untuk kembali bersama sama, karena Andika bersekolah di dalam negeri dan Marisha memilih untuk keluar negeri.

"Andika gak usah macem macem dulu, fokus sama kesehatan Papa dan sekolah dulu aja," tegas Aidil memperingatkan sang adik.

"Iya Abang."

"Iya Abang, Nayanya di tabung aja dulu untuk masa depan Andika dan anak anak," ledek Zahra.

Kemudian semua orang tertawa, mendengar ocehan lucu dari Zahra.

××××××

PENDEK SAJA YA. HAHAHAHA

SALAM AUTHOR.

Tulang rusuk dokter Aidil (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang